Model Pembelajaran Kontekstual REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering)

Dalam pengajaran kontekstual ada sebuah model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran kontekstual REACT (Crawford, 2001) Model pembelajaran kontekstual REACT ini terdiri dari 5 tahapan yaitu: (1) relating (mengaitkan), (2) experiencing (mengalami), (3) applying (menerapkan), (4) cooperating (bekerjasama), dan (5) transferring (memindahkan)
1) Relating (Mengaitkan)

Guru menggunakan strategi relating ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi, relating pada dasarnya merupakan tahap mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Choy (1999) mengemukakan bahwa kurikulum hendaknya mampu menempatkan pembelajaran dalam konteks pengalaman hidup dan memusatkan perhatian pelajar pada peristiwa serta keadaan-keadaan keseharian mereka. Selanjutnya peristiwa dan keadaan-keadaan keseharian itu dikaitkan dengan informasi baru untuk diinternalisasikan dalam menyelesaikan sesuatu masalah. Menurut (Leon, 2004 ), pebelajar sering mengalami masalah untuk memahami konsep-konsep fisika yang sifatnya abstrak. Hal ini disebabkan karena pebelajar masih cenderung menggunakan kaedah konvensional dalam memproses informasi yang diperoleh. Untuk menjadikan pembelajaran lebih bermakna, pebelajar hendaknya mengaitkan konsep-konsep yang dipelajari dengan keadaan-keadaan nyata di lingkungan sekitar. Apabila pebelajar menyadari pentingnya suatu konsep bagi keseharian mereka maka pebelajar akan lebih aktif melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran di kelas. Selanjutnya Leon (2004) mengemukakan beberapa aspek yang dapat dikaitkan yaitu: (1) pengetahuan dengan percobaan, (2) pendidikan akademik dengan pendidikan vokasional, (3) pengalaman di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah, (4) pengetahuan yang sifatnya teoritis dengan pengetahuan praktis atau aplikasi.

Seorang siswa memiliki kecenderungan untuk belajar dengan cepat tentang hal-hal yang baru (Nurhadi, 2003). Guru berperan membantu menghubungkan antara ”yang baru” dan yang sudah diketahui. Seseorang yang mampu belajar dengan mengaitkan atara pengalaman lama dan pengalaman baru akan memperoleh pemahaman yang baik dan pengetahuan akan diingat dalam waktu yang lama. Sebaliknya, jika antara pengalaman lama dan pengalaman baru tidak ada kaitannya maka pebelajar tidak akan menampakkan makna (meaning). Ia akan cenderung melupakan apa yang telah dipelajari. Untuk menjadikan pembelajaran menjadi lebih menarik, pebelajar perlu dimotivasi untuk mengaitkan pengetahuan dengan konteks aplikasi. Pebelajar harus dibiasakan menggunakan daya pikir untuk menyelesaikan masalah dan menggunakan pengetahuan dalam situasi yang berbeda. Relating (mengaitkan) dalam proses pembelajaran merupakan hal yang penting karena sering siswa tidak secara otomatis mampu menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang familiar bagi mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun pebelajar telah membawa memori atau pengetahuan awal yang sifatnya relevan degan situasi pembelajaran yang baru, namun mereka bisa saja gagal mengenal dan mengakui keterkaitan tersebut. Proses “mengaitkan” akan menjadikan pembelajaran menjadi lebih berkesan. Guru yang senantiasa mengaitkan antara pendidikan akademik dengan pendidikan vokasional akan menyebabkan pengajaran dan pembelajaran dalam kelas menjadi lebih baik. Pendidikan akademik yang dihubungkan dengan dunia kehidupan nyata dapat merangsang ingatan pebelajar. Pebelajar mudah memahami isi pelajaran dan mempelajari sesuatu dengan bermakna. American Association for the Advancement of Science (dalam Crawford, 2001) menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran harus dimulai dengan pertanyaan dan fenomena-fenomena yang menarik dan akrab bagi siswa, bukan dengan hal-hal yang sifatnya abstrak dan di luar jangkauan persepsi, pemahaman, dan pengetahuan siswa. Jadi guru harus memperhatikan pengetahuan awal siswa sebagai suatu “starting pont” dalam pembelajaran. Untuk mengetahui dan menggali informasi tentang pengetahuan awal siswa, ada tiga sumber utama, yaitu: (1) pengalaman, yaitu pengalaman guru yang memiliki kesamaan latar belakang dengan siswa atau pengalaman bersama dari guru dan rekan sejawat, (2) penelitian, yaitu dapat berupa fakta dokumen dari kebiasaan siswa, (3) penyelidikan, yaitu melalui pemberian pertanyaan yang sifatnya menggali pengetahuan awal siswa.

2) Experiencing (Mengalami)

Experiencing (mengalami) bermakna “learning by doing” atau belajar melalui eksplorasi, penemuan, dan penciptaan (Career, 2007). Aktivitas experiencing di dalam kelas dapat berupa kegiatan memanipulasi peralatan, pemecahan masalah, dan kegiatan di laboratorium. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif (Ekohariadi, 2002). Pemecahan masalah sebagai suatu bagian aktivitas exsperiencing akan membantu siswa untuk kreatif menemukan konsep-konsep kunci suatu materi pembelajaran. Aktivitas pemecahan masalah juga akan mengajarkan siswa tentang teknik pemecahan masalah, berpikir analitis, komunikasi, dan interaksi kelompok. Aktivitas laboratorium juga merupakan bentuk kegiatan experiencing. Aktivitas laboratorium biasanya membutuhkan perencanaan yang lebih kompleks daripada kegiatan pemecahan masalah. Di dalam laboratorium siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk mengumpulkan data melalui pengukuran, menganalisis data, membuat kesimpulan dan prediksi, serta melakukan refleksi konsep-konsep yang mendasari eksperimen. Experiencing akan memberikan banyak peluang kepada pebelajar untuk melakukan aktivitas “hands-on”. Aktivitas lain juga diberikan seperti eksperimen, diskusi dalam kelompok, latihan, dan tugas rumah. Dewey (dalam Leon, 2004) menyatakan bahwa pebelajar hendaknya aktif melibatkan diri dalam aktivitas yang relevan dan bermakna untuk memberi kesempatan kepada mereka menggunakan konsep-konsep yang mereka peroleh. Latihan-latihan secara hands-on merupakan salah satu aktivitas untuk menghasilkan pengalaman pembelajaran yang bermakna (autenthic learning).

American Association for the Advancement of Science (dalam Crawford, 2001) menyebutkan sebagai berikut.

Progression in learning is usually from the concrete to the abstract. Young people can learn most readily about things that are tangible and directly accessible to their senses visual, auditory, tactile, and kinesthetic. With experience, they grow in their ability to understand abstract concepts, manipulate symbols, reason logically, and generalize. These skills develop slowly, however, and the dependence of most people on concrete examples of new ideas persists throughout life

Artinya, bahwa perkembangan dalam pembelajaran berawal dari sesuatu yang sifatnya konkret menuju ke sesuatu yang sifatnya abstrak. Pebelajar pemula akan lebih siap belajar apabila mereka disajikan sesuatu yang sifatnya nyata dan mampu ditangkap secara visual, auditori, dan kinestetik. Salah strategi yang dapat digunakan untuk mewujudkan hal ini melalui aktivitas experience. Aktivitas experience akan mengembangkan kesiapan siswa untuk memahami konsep-konsep yang sifatnya abstrak.

3) Applying (Menerapkan)

Applying (menerapkan), artinya suatu tahap pembelajaran bagaimana menempatkan suatu konsep untuk digunakan. Ong & Absah (dalam Leon, 2004) mengartikan applying sebagai aktivitas mempelajari sesuatu dalam konteks bagaimana pengetahuan itu dapat digunakan. Pebelajar yang mempunyai ilmu dan pengalaman akan memungkinkan pebelajar tersebut mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah. Fielker (dalam Leon, 2004) menyatakan bahwa pebelajar akan lebih baik jika diajarkan bagaimana mengemukakan “the right questions”. Guru tidak perlu mentransfer semua pengetahuan kepada pebelajar tetapi mengajak pebelajar untuk berpikir dan mencari jawaban sendiri atas permasalahan yang diberikan oleh guru maupun pebelajar itu sendiri. Cara demikian akan melatih kemahiran aplikasi dan cara penyelesaian masalah.

Dalam pembelajaran fisika, latihan soal tidak hanya diperoleh melalui buku teks atau buku kerja saja melainkan juga dari aktivitas hidup keseharian. Jadi guru harus mampu memotivasi siswa dalam memahami konsep melalui pemberian latihan soal yang sifatnya realistik dan relevan dengan keseharian pebelajar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian latihan soal yang sifatnya autentik dan realistik mampu memotivasi siswa untuk mempelajari konsep dalam tingkat pemahaman yang mendalam. Terkait dengan hasil penelitian tersebut, Crawford (2001) merekomendasikan tiga strategi yang dapat dilakukan dalam pembelajaran di kelas sebagai berikut.

1) Berfokus pada kebermaknaan aspek aktivitas pembelajaran, artinya guru harus menekankan pemberian tugas di dalam kelas sebagai sesuatu yang relevan dan autentik yang memiliki makna dalam dunia nyata.

2) Disain tugas atau latihan bersifat beragam dan menarik, artinya guru dalam pembelajaran hendaknya mencoba menyediakan tugas yang sifatnya beragam kepada siswa dan mampu menarik perhatian siswa.

3) Disain tugas atau latihan harus menantang tetapi masuk akal sesuai kemampuan siswa, artinya tugas yang diberikan guru jangan terlalu mudah dan jangan juga terlalu sulit. Apabila tugas yang diberikan terlalu mudah, maka siswa akan merasa bosan dan yakin telah menguasai materi sehingga motivasinya rendah untuk mempelajari konsep yang baru. Sebaliknya apabila tugas yang diberikan terlalu sulit maka siswa tidak akan mampu mencapai perkembangan yang signifikan dan mereka akan merasa tidak mampu untuk menguasai konsep pembelajaran. Jadi tugas yang diberikan jangan terlalu mudah dan jangan juga terlalu sulit, melainkan sifatnya menantang dan masuk akal.

4) Cooperating (Kerjasama)

Siswa yang bekerja secara individu dalam memecahkan suatu permasalahan sering tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan (Yasa, 2008). Terkadang mereka merasa frustasi kecuali jika guru memberikan petunjuk penyelesaian langkah demi langkah. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang kompleks dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata. Bekerja dengan teman sejawat dalam kelompok kecil akan meningkatkan kesiapan pebelajar dalam menjelaskan pemahaman konsep dan menyarankan pendekatan pemecahan masalah bagi kelompoknya. Dengan mendengarkan pendapat orang lain dalam satu kelompok, pebelajar akan mengevaluasi kembali dan memformulasikan pemahaman konsep mere ka. Pebelajar akan belajar menilai pendapat orang lain karena terkadang perbedaan strategi yang digunakan akan menghasilkan pemecahan masalah yang lebih baik. Ketika sebuah kelompok berhasil mencapai tujuan, maka anggota kelompoknya akan memperoleh kepercayaan dan motivasi diri yang tinggi.

American Association for the Advancement of Science (dalam Crawford, 2001) menyatakan sebagai berikut.
Learning often takes place best when students have opportunities to express ideas and get feedback from their peers.”

Pernyataan tersebut memberikan makna bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan sangat baik ketika pebelajar diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan memperoleh timbal balik dari teman sejawatnya. Pada kenyataannya ada beberapa kelemahan dalam penggunaan pembelajaran berkelompok. Misalnya, sebagian siswa tidak berpartisipasi secara optimal dalam kelompoknya, sementara sebagian lagi mendominasi, sebagian anggota kelompok terkadang menunjukkan ketidaksetujuan dan kurang bertanggung jawab terhadap kelompoknya, bahkan kemungkinan siswa dihadapkan pada konflik antar anggota kelompok. Selanjutnya Johnson & Johnson (dalam Crawford, 2001) menyarankan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk menaggulangi hal tersebut dan mewujudkan lingkungan belajar yang mendukung pemahaman konsep yang mendalam bagi siswa yaitu sebagai berikut.

1) Menciptakan saling ketergantungan yang positif antar siswa dalam satu kelompok.
2) Meyakinkan siswa bahwa interaksi dalam kelompok adalah untuk menyelesaikan tugas.
3) Merangkul tanggung jawab semua individu pebelajar untuk menyelesaikan tugas dalam kelompok.
4) Mengondisikan siswa untuk menggunakan kemampuan pribadi dan kelompok secara optimal.
5) Meyakinkan kelompok pebelajar untuk melakukan diskusi dengan baik sesuai fungsi dan hakekat kelompok.

Belajar dalam kelompok terkadang memiliki kesulitan, namun strategi ini sangat baik digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Johnson mengemukakan bahwa pembelajaran yang dilakukan melalui kerjasama kelompok telah terbukti keakuratannya dalam meningkatkan hasil belajar secara signifikan.

5) Transfering (Memindahkan)

Transfering (memindahkan) bermakna mempelajari sesuatu dalam konteks pengetahuan yang telah ada, menggunakan dan memperluas apa yang telah diketahui. Transfering juga bermakna menghubungkan apa yang sudah dipelajari siswa atau apa yang sudah diketahui siswa secara konteks (Leon, 2004). Crawford (2001) mendefinisikan transferring sebagai penggunaan pengetahuan dalam konteks yang baru. Perkins (dalam Leon, 2004) mengungkapkan bahwa objek utama dalam pendidikan adalah kemampuan siswa mengaitkan dan mengalikasikan keterampilan-keterampilan dan konsep-konsep yang sudah mereka pelajari di dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, transfer atau pemindahan pengetahuan jarang terjadi karena pebelajar tidak berminat mengaitkan dan mengaplikasikan konsep yang mereka miliki dalam konteks pembelajaran yang lain. Kemampuan siswa menerapkan konsep dalam situasi lain merupakan salah satu bentuk evaluasi dari keberhasilan proses pembelajaran yang memberikan indikasi bahwa siswa telah memahami konsep secara komprehensif. (Suastra, 2002). Untuk mencapai pemahaman yang mendalam diperlukan kemampuan berpikir dan kemampuan memindahkan pengetahuan. Pemindahan merupakan alat pemusatan daya pikir. Jadi, pebelajar membutuhkan kemahiran berpikir supaya mereka mampu memindahan sesuatu. Peran guru perlu diperluas dengan membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan pada hafalan. Siswa yang belajar dengan pemahaman dapat juga disebut sebagai ”mentransfer pengetahuan” (Ekohariadi, 2002). Kesulitan dalam mempelajari sains (fisika) biasanya disebabkan karenta tahap pembelajaran yang terlalu tinggi. Biasanya pebelajar dihadapkan dengan permasalahan baru yang belum ditunjukkan penyelesaiannya. Bagi pebelajar yang hanya mengandalkan ingatan maka hal ini akan menjadi kendala. Pembelajaran sains (fisika) tidak hanya membutuhkan ingatan dan pemahaman, melainkan diperlukan kemampuan aplikasi, analisis, dan sisntesis. Untuk melatih kemampuan aplikasi, analisis, dan sisntesis tersebut, maka aktivitas transfering memegang peranan yang sangat penting. Shahabuddin & Rohizani (dalam Leon, 2004) mengemukakan bahwa pebelajar hendaknya diberdayakan untuk memindahkan segala pengetahuan yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan keseharian mereka atau mengaplikasikan apa yang dipelajari dari satu subjek ke subjek yang lain. Jika siswa telah mampu memindahkan dan mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari maka dapat dikatakan siswa tersebut telah memiliki pemahaman yang mendalam. Pebelajar dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif agar apa yang sudah dipelajari tidak terhenti sampai di situ saja melainkan mampu dikembangkan untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran. Aktivitas transfering atau pemindahan ini memegang peranan penting dalam melatih kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa (Leon, 2004).
Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kontekstual REACT

Langkah-langkah pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual REACT pada dasarnya mengikuti tahapan-tahapan dari model tersebut, yaitu terdiri dari lima fase (1) relating atau mengaitkan, (2) experiencing atau mengalami, (3) applying atau menerapkan, (4) cooperating atau kerjasama, dan (5) transfering atau pemindahan. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual REACT merupakan suatu siklus kegiatan. Artinya, proses tersebut tidak pernah terputus, seperti yang disajikan pada Gambar dibawah. 



Pembelajaran diawali dengan tahap relating. Pada tahap ini guru mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan pengetahuan baru yang akan dibahas dengan memumnculkan permasalahan-permasalahan autentik yang akrab dengan keseharian siswa. Tahap kedua adalah experiencing. Pada tahap ini guru mengajak siswa untuk menemukan konsep melalui aktivitas laboratorium (kegiatan eksperimen). Setelah siswa menemukan konsep pada tahap experiencing, pembelajaran dilanjutkan ke tahap applying yaitu penerapan konsep melalui latihan soal yang sifatnya autentik dan realistik. Tahap pembelajaran keempat adalah cooperating, yaitu kerjasama kelompok untuk mencari solusi pemecahan masalah yang terbaik. Tahap pembelajaran paling akhir adalah transfering. Pada tahap ini guru mencoba membimbing siswa mentransfer pengetahuan atau konsep yang sudah didapatkan dalam proses pembelajaran ke konteks pengetahuan lain yang lebih kompleks

Klik "Show" Untuk Melihat referensi
DAFTAR PUSTAKA

Career, C. D. P. 2007. The REACT Strategy. Texas Collaborative for Teaching Excellence. Tersedia pada: http:// info@texascollaborative.org..

Choy, N. K. 1999. Strategi pengajaran dan pembelajaran kontekstual-REACT. Dipetik dari halaman web CORD USA, dan Seminar Tech Prep & Pembelajaran Kontektual di Kota Kinabalu pada tanggal 23 Agustus 1999. Tersedia pada http://www.teachersrock.net

Crawford, M. L. 2001. Teaching contextually: Research, rationale, and techniques for improving students motivation and achievement in mathematics and science. Texas: CCI Publishing. Tersedia pada http:// www.cord.org/uploadedfiles/Teaching%20Contextually%20(Crawford).pdf.

Depdiknas. 2002. Pendekatan kontekstual (CTL). Jakarta: Depdiknas

Dufresne, R. J., Gerace, W. J., Leonard, W. J., Mestre, J. P., Wenk, L. 1996. Classtalk: A classroom communication system for active learning. Journal of Computing in Higher Education. 7. 3-47.

Ekohariadi. 2002. Modalitas majemuk pada pembelajaran kontekstual. Makalah. Disajikan dalam Seminar Pusat Studi Sains dan Matematika Sekolah Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya.

Hadi, N. 2008. Pembelajaran kontekstual dan penerapannya. Laporan penelitian. Tersedia pada: http://www.lipi.co.id/.

Leon, L. C. 2003. Persepsi pelajar sekolah menengah teknik terhadap pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran kontekstual dalam matematika tambahan. Tesis (tidak diterbitkan). Sekolah Pengajian Siswazah, Universiti Putra Malaysia.

Nurhadi. 2003. Pembelajaran kontekstual dan penerapannya dalam kurikulum berbasis kompetensi. Malang: UM. Press.

Suastra, I. W. 2002. Strategi belajar mengajar sains. Buku ajar (tidak diterbitkan). IKIP Negeri Singaraja.

Yasa, D. 2008. Pendekatan kontekstual-contextual teaching and learning. Tersedia pada http://www.shortcut-to-pendekatan kontekstual-atau-contextual-teaching-and-learning-ctl.ipotes.wodpress.com.

Yasa, P. 2007. Inovasi model belajar sains sesuai tuntutan standar proses kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Makalah. Disampaikan pada seminar dengan tema “Pengembangan model pembelajaran inovatif dan Assesmen sebagai antisipasi pelaksanaan KTSP di SMP/SMA” pada tanggal 24 s/d 25 September 2007
Model Pembelajaran Kontekstual REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering) Model Pembelajaran Kontekstual REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering) Reviewed by Sastra Project on February 05, 2013 Rating: 5

3 comments:

  1. MAS NI SAYA PUTRI,BOLEH SAYA TAHU REFERENSI REACT INI,BUAT SKRISI SAYA

    ReplyDelete
  2. Referensi sudah saya update, silakan dicek dibagian bawah postingan, klil "show" untuk melihat referensi, trims

    ReplyDelete
  3. Mas bokeh minta referensi ttg strategi react

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.