Vygotsky merupakan tokoh yang meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis namun lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan dialektik antara individu dan masyarkat dalam pembentukan pengetahuan (Suparno,1997). Vygotsky mengkaji mengenai akibat interaksi sosial bagi perkembangan anak yang lebih berfokus pada bahasa dan budaya. Dengan demikian, Vygotsky menerima pengaruh kepengantaran dalam perkembangan dengan simbol-simbol budaya termasuk bahasa dan intuisi.
Dalam meneliti bahasa anak-anak, Piaget menyimpulkan bahwa bahasa anak bersifat egosentis. Menurut Vygotsky (dalam Suparno, 1997), bahasa merupakan aspek sosial dan pembicaraan yang egosentris merupakan permulaan dari pembentukan inner speech (kemampuan bicara yang pokok) yang akan digunakan sebagai alat dalam berpikir. Untuk itu, anak dibantu oleh orang-orang lain (baik orang dewasa maupun kelompok) yang lebih kompeten di dalam keterampilan dan teknologi dalam kebudayaan (Suparno, 2001).
Hal penting dari konsep Vygotsky (dalam Trianto, 2007), adalah scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggungjawab semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya. Hal tersebut berarti bahwa, siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks dan realistik selanjutnya diberikan bantuan secukunya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.
Dengan diilhami oleh karya Vygotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktik-praktik kultural dan sosial dalam lingkungan pelajar. Hal tersebut sejalan bagi Minick (dalam Suparno, 1997) sosiokulturalisme meneliti seseorang dalam kegiatan sosialnya, dengan menerapkan partisipasi individu dalam praktik dan kegiatan yang diorganisasikan secara kultural, misalnya dalam interaksi di kelas.
Teori Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky (dalam Trianto, 2007) bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan daerah perkembangan mereka (zone of proximal development). Maka, fungsi mental yang lebih tinggi akan muncul dalam percakapan dan kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan konstruktivisme psikologis sosial ini lebih menekankan bahwa, pikiran tersebut terletak pada seseorang yang sedang berinteraksi dengan lingkungan dan situasi sekitarnya, belajar merupakan proses inkulturasi dalam masyarakat, serta proses konstruksi pengetahuan yang terjadi bersifat sosial-kultural.
Dalam meneliti bahasa anak-anak, Piaget menyimpulkan bahwa bahasa anak bersifat egosentis. Menurut Vygotsky (dalam Suparno, 1997), bahasa merupakan aspek sosial dan pembicaraan yang egosentris merupakan permulaan dari pembentukan inner speech (kemampuan bicara yang pokok) yang akan digunakan sebagai alat dalam berpikir. Untuk itu, anak dibantu oleh orang-orang lain (baik orang dewasa maupun kelompok) yang lebih kompeten di dalam keterampilan dan teknologi dalam kebudayaan (Suparno, 2001).
Hal penting dari konsep Vygotsky (dalam Trianto, 2007), adalah scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggungjawab semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya. Hal tersebut berarti bahwa, siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks dan realistik selanjutnya diberikan bantuan secukunya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.
Dengan diilhami oleh karya Vygotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktik-praktik kultural dan sosial dalam lingkungan pelajar. Hal tersebut sejalan bagi Minick (dalam Suparno, 1997) sosiokulturalisme meneliti seseorang dalam kegiatan sosialnya, dengan menerapkan partisipasi individu dalam praktik dan kegiatan yang diorganisasikan secara kultural, misalnya dalam interaksi di kelas.
Teori Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky (dalam Trianto, 2007) bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan daerah perkembangan mereka (zone of proximal development). Maka, fungsi mental yang lebih tinggi akan muncul dalam percakapan dan kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan konstruktivisme psikologis sosial ini lebih menekankan bahwa, pikiran tersebut terletak pada seseorang yang sedang berinteraksi dengan lingkungan dan situasi sekitarnya, belajar merupakan proses inkulturasi dalam masyarakat, serta proses konstruksi pengetahuan yang terjadi bersifat sosial-kultural.
Silakan klik button "show/hide" untuk melihat referensi
Konstruktivisme Psikologis Sosial (Sosiokulturalisme)
Reviewed by Sastra Project
on
March 31, 2013
Rating:
ReplyDeleteThank you, your article is very good
viagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta