Menurut (Krulik & Rudnick, 1996) setiap siswa memiliki kemampuan mengelola
proses belajar sendiri yang menentukan cepat atau lambatnya mereka menaruh
perhatian pada suatu permasalahan yang dihadapinya.
Sebelum belajar dan mencoba memahami suatu persoalan, siswa terlebih dulu menaruh perhatian terhadap permasalahan yang akan dipahami. Perhatian sebagai tanda pertama belajar tersebut akhirnya mengkristal dalam bentuk sikap dan persepsi positif terhadap belajar. Sikap dan persepsi positif tersebut muncul sebagai akibat adanya resonansi antara hati dengan lingkungan belajar, koherensi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari, atau siswa segera dapat menangkap makna tentang pengetahuan baru yang akan dipelajari. Jadi, sikap dan persepsi positif terhadap belajar merupakan cikal bakal yang sangat menentukan peserta didik itu belajar atau tidak. Setelah peserta didik menaruh hati terhadap apa yang akan dipelajari, siswa mencoba melakukan seleksi, organisasi, dan integrasi pengetahuan baru yang akan dipelajari ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Proses ini merupakan draft pembentukan pengetahuan yang sifatnya masih kasar (raw knowledge). Pada tahapan ini, siswa lebih banyak menggunakan keterampilan retention thinking dan baru akan mencoba tingkatan basic thinking. Oleh karena pengetahuan yang telah diintegrasikan oleh peserta didik ke struktur kognitifnya masih bersifat kasar, belajar ditandai dengan adanya upaya peserta didik untuk melakukan perluasan (extending) dan penyempurnaan (rifining) draft pengetahuan yang telah diintegrasikan di strutur kognitifnya. Keterampilan berpikir dasar (basic thinking) siswa mendominasi aktivitas berpikirnya dalam proses perluasan dan penyempurnaan pengetahuan tersebut. Tingkatan berpikir yang digunakan sebagai landasan belajar pada tahapan ini telah melukiskan kerangka pemahaman yang secara gradual akan berproses dari yang dangkal menuju pemahaman yang mendalam (deep undestanding). Penerapan pengetahuan secara bermakna atas dasar pemahaman yang telah terkonstruksi di struktur kognitifnya. Merupakan suatu kewajiban, bahwa pemikiran akan makna konseptual menjadi tujuan pebelajar. Atas dorongan kemanusiaan, siswa berpikir tentang manfaat konsep yang dipelajari. Proses tersebut merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Sebagai konsekuensi dari pendekatan induktif-deduktif sebagai dua pendekatan yang kompelementer dalam mengkonstruksi pengetahuan, maka pengetahuan prosedural tidak hanya berfungsi sebagai hasil pengetahuan konseptual, tetapi juga berfungsi sebagai penghasil pengetahuan komseptual. Keterampilan-keterampilan penalaran (reasoning): basic thinking dan higher order thinking (critical thinking dan creative thinking) sangat mendominasi aktivitas berpikir peserta didik dalam proses belajar tersebut.
Sebelum belajar dan mencoba memahami suatu persoalan, siswa terlebih dulu menaruh perhatian terhadap permasalahan yang akan dipahami. Perhatian sebagai tanda pertama belajar tersebut akhirnya mengkristal dalam bentuk sikap dan persepsi positif terhadap belajar. Sikap dan persepsi positif tersebut muncul sebagai akibat adanya resonansi antara hati dengan lingkungan belajar, koherensi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari, atau siswa segera dapat menangkap makna tentang pengetahuan baru yang akan dipelajari. Jadi, sikap dan persepsi positif terhadap belajar merupakan cikal bakal yang sangat menentukan peserta didik itu belajar atau tidak. Setelah peserta didik menaruh hati terhadap apa yang akan dipelajari, siswa mencoba melakukan seleksi, organisasi, dan integrasi pengetahuan baru yang akan dipelajari ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Proses ini merupakan draft pembentukan pengetahuan yang sifatnya masih kasar (raw knowledge). Pada tahapan ini, siswa lebih banyak menggunakan keterampilan retention thinking dan baru akan mencoba tingkatan basic thinking. Oleh karena pengetahuan yang telah diintegrasikan oleh peserta didik ke struktur kognitifnya masih bersifat kasar, belajar ditandai dengan adanya upaya peserta didik untuk melakukan perluasan (extending) dan penyempurnaan (rifining) draft pengetahuan yang telah diintegrasikan di strutur kognitifnya. Keterampilan berpikir dasar (basic thinking) siswa mendominasi aktivitas berpikirnya dalam proses perluasan dan penyempurnaan pengetahuan tersebut. Tingkatan berpikir yang digunakan sebagai landasan belajar pada tahapan ini telah melukiskan kerangka pemahaman yang secara gradual akan berproses dari yang dangkal menuju pemahaman yang mendalam (deep undestanding). Penerapan pengetahuan secara bermakna atas dasar pemahaman yang telah terkonstruksi di struktur kognitifnya. Merupakan suatu kewajiban, bahwa pemikiran akan makna konseptual menjadi tujuan pebelajar. Atas dorongan kemanusiaan, siswa berpikir tentang manfaat konsep yang dipelajari. Proses tersebut merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Sebagai konsekuensi dari pendekatan induktif-deduktif sebagai dua pendekatan yang kompelementer dalam mengkonstruksi pengetahuan, maka pengetahuan prosedural tidak hanya berfungsi sebagai hasil pengetahuan konseptual, tetapi juga berfungsi sebagai penghasil pengetahuan komseptual. Keterampilan-keterampilan penalaran (reasoning): basic thinking dan higher order thinking (critical thinking dan creative thinking) sangat mendominasi aktivitas berpikir peserta didik dalam proses belajar tersebut.
REFERENSI :
Krulik, S., &
Rudnick, J. A. 1996. The new sourcebook for teacing reasoning and problem
solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.
SILAKAN SHARE ARTIKEL INI PADA TOMBOL DIBAWAH
Kompetensi Berpikir Tingkat Tinggi Awal Siswa
Reviewed by Sastra Project
on
July 12, 2016
Rating:
No comments:
Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini