Rowland (2004) menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah perbedaan pandangan dalam suatu konsep yang terjadi dalam proses pembentukan struktur kognitif siswa. Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok dengan konsepsi para ilmuwan, hanya dapat diterima dalam kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat digeneralisasi. Konsepsi tersebut, pada umumnya dibangun berdasarkan akal sehat (common sense) atau dibangun secara intuitif dalam upaya memberi makna terhadap dunia pengalaman mereka sehari-hari, dan hanya merupakan eksplanasi pragmatis terhadap dunia realita. Miskonsepsi siswa diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya (Sadia, 2003).
Miskonsepsi merupakan suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Rowland (2004) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar. Berdasarkan pengertian di atas, miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan.
Miskonsepsi merupakan pemahaman keliru yang dikembangkan oleh siswa dan berbeda dengan konsep yang dimiliki oleh ilmuwan (Kose, 2008). Berg (dalam Suastra, 1996) juga menyatakan bahwa miskonsepsi siswa merupakan bagian dari suatu teori siswa yang dengan sendirinya cukup logis dan konsisten. Beberapa karakteristik miskonsepsi adalah sebagai berikut: (1) tidak dapat digeneralisasikan, (2) dibangun (dikonstruksi) atas dasar akal sehat (common sense), (3) merupakan eksplanasi pragmatis dari suatu realita, (5) pengertian hanya ditunjukkan pada jaminan keberhasilan tindakan (pragmative motive).
Menurut Duit (1996) konsepsi adalah representasi mental mengenai ciri-ciri dunia luar atau domain-domain teoritik. Konsepsi merupakan perwujudan dari interpretasi seseorang terhadap suatu objek yang diamatinya yang sering bahkan selalu muncul sebelum pembelajaran. Konsepsi pembelajaran dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu prakonsepsi (preconception) dan miskonsepsi (misconception). Prakonsepsi adalah konsepsi yang berdasarkan pengalaman formal dalam kehidupan sehari-hari. Prakonsepsi siswa dalam pembelajaran sains dibangun oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran, dimana siswa datang dalam lingkungan belajar dengan prakonsepsi awal dan akan terbentuk kembali dengan adanya interaksi sosial dan fisik di kelas sebagai akibat dari pembelajaran. Prakonsepsi siswa yang menjadi fokus perhatian adalah konsep siswa yang berbeda dengan konsep ilmiah sehingga menghambat proses pembelajaran (Hüseyin dan Sabri, 2007).
Lebih lanjut Duit (1996) memaparkan bahwa miskonsepsi adalah salah pemahaman yang disebabkan oleh pembelajaran sebelumnya dan kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi pada umumnya. Beberapa pernyataan dalam miskonsepsi berdasarkan berbagai penelitian yang relevan adalah sebagai berikut: (1) miskonsepsi siswa terjadi sebagai akibat perbedaan budaya, agama, dan bahasa, (2) sebelum pembelajaran berlangsung miskonsepsi sudah terdapat dalam pikiran siswa dan sangat sulit untuk mengubahnya, (3) bahasa sehari-hari, budaya, dan agama dapat menyebabkan miskonsepsi, (4) berbagai miskonsepsi dapat terjadi saat menjelaskan suatu fenomena alam, (5) miskonsepsi dapat terjadi setelah pembelajaran berlangsung. Miskonsepsi baru juga bisa didapat oleh siswa selama pembelajaran berlangsung. Miskonsepsi ini terjadi akibat miskonsepsi yang ada pada guru (Hüseyin dan Sabri, 2007).
Menurut Duit (1996) miskonsepsi sering diistilahkan sebagai kerangka kerja alternatif (alternatif framework) alasanya, bahwa prakonsepsi yang dimiliki oleh para siswa dipandang sebagai konsepsi yang benar menurut mereka sendiri yang dianggap bermanfaat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Masril (2004) menyebutkan bahwa miskonsepsi merupakan ide atau kepercayaan yang berlainan dengan konsep sains yang sebenarnya. Miskonsepsi adalah fenomena seseorang gagal menerapkan teori di lapangan, karena pemahaman konsep yang tidak lengkap atau keliru dalam interpretasinya. Pikatan (1999) juga menjelaskan, secara garis besar gagal konsepsi ini dapat dipisahkan menjadi dua jenis yaitu, (1) gagal kondisi adalah kegagalan aplikasi akibat tidak dikuasainya kondisi-kondisi yang melatarbelakangi sebuah teori, (2) gagal intuisi merupakan kegagalan aplikasi akibat tidak dimilikinya intuisi atau konteks fisis sebagai pengalaman yang terintegrasi dengan teori.
Dua jenis kegagalan di atas dapat saling mempengaruhi. Gagal kondisi yang berlarut-larut dapat menjadi gagal intuisi yang lebih parah, dan sebaliknya gagal intuisi dapat menyebabkan kecenderungan terjadinya gagal kondisi. Gagal kondisi teori dan konsep tidak hanya cukup dipelajari dari produk akhir yang biasanya berupa persamaan matematika. Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti psikologis siswa, pengetahuan awal siswa, model pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada saat mengajar, gender, aktivitas siswa, motivasi dalam pembelajaran, serta kebermaknaan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dan siswa dalam mempelajari konsep-konsep fisika. Pada saat memasuki pembelajaran, para siswa sesungguhnya telah membawa gagasan-gagasan. Gardner (dalam Santyasa, 2004) menyatakan bahwa sebagai pikiran intuitif atau common sense, misconception, missunderstanding, dan unschooled mind. Sebuah sinonim yang dipakai untuk istilah prior knowledge adalah cognitive entry behaviors yang diidefinisikan sebagai prerequisite tipe pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang sangat esensial dalam belajar.
Miskonsepsi merupakan suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Rowland (2004) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar. Berdasarkan pengertian di atas, miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan.
Miskonsepsi merupakan pemahaman keliru yang dikembangkan oleh siswa dan berbeda dengan konsep yang dimiliki oleh ilmuwan (Kose, 2008). Berg (dalam Suastra, 1996) juga menyatakan bahwa miskonsepsi siswa merupakan bagian dari suatu teori siswa yang dengan sendirinya cukup logis dan konsisten. Beberapa karakteristik miskonsepsi adalah sebagai berikut: (1) tidak dapat digeneralisasikan, (2) dibangun (dikonstruksi) atas dasar akal sehat (common sense), (3) merupakan eksplanasi pragmatis dari suatu realita, (5) pengertian hanya ditunjukkan pada jaminan keberhasilan tindakan (pragmative motive).
Menurut Duit (1996) konsepsi adalah representasi mental mengenai ciri-ciri dunia luar atau domain-domain teoritik. Konsepsi merupakan perwujudan dari interpretasi seseorang terhadap suatu objek yang diamatinya yang sering bahkan selalu muncul sebelum pembelajaran. Konsepsi pembelajaran dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu prakonsepsi (preconception) dan miskonsepsi (misconception). Prakonsepsi adalah konsepsi yang berdasarkan pengalaman formal dalam kehidupan sehari-hari. Prakonsepsi siswa dalam pembelajaran sains dibangun oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran, dimana siswa datang dalam lingkungan belajar dengan prakonsepsi awal dan akan terbentuk kembali dengan adanya interaksi sosial dan fisik di kelas sebagai akibat dari pembelajaran. Prakonsepsi siswa yang menjadi fokus perhatian adalah konsep siswa yang berbeda dengan konsep ilmiah sehingga menghambat proses pembelajaran (Hüseyin dan Sabri, 2007).
Lebih lanjut Duit (1996) memaparkan bahwa miskonsepsi adalah salah pemahaman yang disebabkan oleh pembelajaran sebelumnya dan kesalahan yang berkaitan dengan prakonsepsi pada umumnya. Beberapa pernyataan dalam miskonsepsi berdasarkan berbagai penelitian yang relevan adalah sebagai berikut: (1) miskonsepsi siswa terjadi sebagai akibat perbedaan budaya, agama, dan bahasa, (2) sebelum pembelajaran berlangsung miskonsepsi sudah terdapat dalam pikiran siswa dan sangat sulit untuk mengubahnya, (3) bahasa sehari-hari, budaya, dan agama dapat menyebabkan miskonsepsi, (4) berbagai miskonsepsi dapat terjadi saat menjelaskan suatu fenomena alam, (5) miskonsepsi dapat terjadi setelah pembelajaran berlangsung. Miskonsepsi baru juga bisa didapat oleh siswa selama pembelajaran berlangsung. Miskonsepsi ini terjadi akibat miskonsepsi yang ada pada guru (Hüseyin dan Sabri, 2007).
Menurut Duit (1996) miskonsepsi sering diistilahkan sebagai kerangka kerja alternatif (alternatif framework) alasanya, bahwa prakonsepsi yang dimiliki oleh para siswa dipandang sebagai konsepsi yang benar menurut mereka sendiri yang dianggap bermanfaat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Masril (2004) menyebutkan bahwa miskonsepsi merupakan ide atau kepercayaan yang berlainan dengan konsep sains yang sebenarnya. Miskonsepsi adalah fenomena seseorang gagal menerapkan teori di lapangan, karena pemahaman konsep yang tidak lengkap atau keliru dalam interpretasinya. Pikatan (1999) juga menjelaskan, secara garis besar gagal konsepsi ini dapat dipisahkan menjadi dua jenis yaitu, (1) gagal kondisi adalah kegagalan aplikasi akibat tidak dikuasainya kondisi-kondisi yang melatarbelakangi sebuah teori, (2) gagal intuisi merupakan kegagalan aplikasi akibat tidak dimilikinya intuisi atau konteks fisis sebagai pengalaman yang terintegrasi dengan teori.
Dua jenis kegagalan di atas dapat saling mempengaruhi. Gagal kondisi yang berlarut-larut dapat menjadi gagal intuisi yang lebih parah, dan sebaliknya gagal intuisi dapat menyebabkan kecenderungan terjadinya gagal kondisi. Gagal kondisi teori dan konsep tidak hanya cukup dipelajari dari produk akhir yang biasanya berupa persamaan matematika. Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti psikologis siswa, pengetahuan awal siswa, model pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada saat mengajar, gender, aktivitas siswa, motivasi dalam pembelajaran, serta kebermaknaan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dan siswa dalam mempelajari konsep-konsep fisika. Pada saat memasuki pembelajaran, para siswa sesungguhnya telah membawa gagasan-gagasan. Gardner (dalam Santyasa, 2004) menyatakan bahwa sebagai pikiran intuitif atau common sense, misconception, missunderstanding, dan unschooled mind. Sebuah sinonim yang dipakai untuk istilah prior knowledge adalah cognitive entry behaviors yang diidefinisikan sebagai prerequisite tipe pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang sangat esensial dalam belajar.
Klik "Show" Untuk Melihat referensi
Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika
Reviewed by Sastra Project
on
January 09, 2013
Rating:
ReplyDeleteThank you, your article is very good
viagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta