Kajian mengenai miskonsepsi telah dilakukan menurut perspektif-perspektif yang berbeda. Perspektif yang paling umum berkembang adalah paham konstruktivis. Menurut pandangan konstruktivis, belajar bukan dipandang sebagai transmisi informasi atau pengisian bejana kosong, tetapi lebih sebagai suatu proses pengkonstruksian aktif pada basis konsepsi-konsepsi yang telah ada, yaitu pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi (Suparno, 1997). Kemudian muncul ide konstruktivistik sosial yang telah melengkapi perspektif konstruktivistik radikal dengan menyertakan signifikansi interaksi sosial.
Prakonsepsi merupakan konsepsi yang dihasilkan dari pengalaman informal pada kehidupan sehari-hari siswa (Duit, 1996). Terdapat banyak sumber dari prakonsepsi siswa. Bahasa merupakan sumber prakonsepsi siswa yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep siswa. Bahasa sering kali pada jaman sekarang tidak sesuai dengan pandangan ilmiah. Sebagai contoh, kata “matahari terbit” dapat diinterepretasikan bahwa matahari yang bergerak, padahal dalam konsepsi ilmiah bumilah yang bergerak mengelilingi matahari. Bahasa juga dapat menyediakan banyak skema umum dan sangat membantu siswa untuk situasi sehari-hari. Tetapi bahasa yang miskonsepsi akan sangat menyesatkan bila digunakan dalam pembelajaran. Sumber Prakonsepsi siswa yang kedua adalah adalah interaksi sosial antara anggota keluarga, teman, dan kelompok-kelompok tertentu. Interaksi sosial ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga membentuk “sains sehari-hari” (science everyday) dan digunakan dalam matematika sehari-hari. Sumber Prakonsepsi yang lainnya adalah media massa. Media yang sering dibaca dan dimengerti oleh siswa akan memberikan suatu Prakonsepsi kepada siswa, sehingga siswa menjadi lebih tahu dan memahami sains tersebut.
Secara umum, perspektif-perspektif tersebut menyatakan bahwa miskonsepsi berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil-hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi-materi pembelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar dan pembelajaran. Prakonsepsi dan miskonsepsi juga mempengaruhi perasaan siswa dalam menilai informasi yang dipresentasikan dalam buku teks dan dalam kelas (Sadia & Suma, 2006). Banyak prakonsepsi dan miskonsepsi begitu resisten untuk terus berubah. Perubahan prakonsepsi dan miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas yang sangat terbatas, atau hanya sedikit konsepsi baru terbentuk dan diintegrasikan oleh para siswa ke dalam pengetahuan yang dimiliki.
Secara alamiah, pebelajar mengamati fenomena atau gejala alam dilingkungannya dan mengembangkan konsepsi-konsepsi yang sesuai dengan domain pengalaman mereka. Konsepsi ini pada umumnya tidak konsisten dengan pandangan ilmuwan. Konsepsi pebelajar tentang fenomena alam tersebut akan melekat dan terbawa dalam proses pembelajaran (Dole & Sinatra, 1998).
Miskonsepsi pebelajar merupakan faktor penting yang dapat membantu pebelajar memahami konsep-konsep IPA di sekolah, bahkan sering tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Pengajar dapat mengusahakan perubahan konseptual dalam kegiatan belajar mengajar dengan memahami konsep pebelajar. belajar akan bermakna dan informasi yang akan dipelajari akan bertahan lama dengan mengaitkan konsepsi awal pebelajar dengan konsepsi baru yang sedang dipelajari.
Menurut pandangan konstruktivis, mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan pengajar pada pebelajar, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi pebelajar yang sudah ada menjadi konsepsi ilmiah. Salah satu cara untuk merubah miskonsepsi siswa adalah dengan merancang pembelajaran yang dapat membantu pebelajar mengubah atau merestrukturisasi miskonsepsi-miskonsepsi tersebut.
Metode umum yang digunakan untuk menangani miskonsepsi adalah dengan pembelajaran konflik kognitif yang dijelaskan lebih lanjut oleh Liew dan Treagust (dalam Presscott, 2005) dengan pembelajaran predict-observe-explain. Pembelajaran ini mengaitkan konflik antara apa yang diprediksi dan diobservasi dapat mengkonstruksi struktur kognitif yang baru dari siswa.
Sadia et al (2003) menyebutkan bahwa langkah-langkahyang dilakukan untuk merubah miskonsepsi siswa adalah sebagai berikut: 1) memperluas rentang penerapan suatu konsepsi, 2) mendefinisikan suatu konsepsi, 3) membagun jembatan pengalaman menuju konsepsi baru, 4) membuka problem yang konseptual, 5) menggunakan strategi analogi, dan 6) membangun konsepsi alternatif yang baru. Prosedur pembelajaran dalam model konflik kognitif terdiri dari lima tahap yaitu: 1) identifikasi tujuan pembelajaran; 2) identifikasi dan klasifikasi pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa; 3) perencanaan program pembelajaran; 4) implementasi program pembelajaran, dan ) evaluasi. Tahap implementasi program terdiri dari 5 langkah yaitu: (1) orientasi dan pengalaman belajar, (2) menggali ide-ide siswa, 3) restrukturisasi ide-ide siswa, 4) aplikasi ide-ide siswa, dan review perubahan ide-ide siswa. Langkah restrukturisasi ide-ide atau konsep siswa merupakan bagian inti dari proses pembelajaran. Langkah restrukturisasi meliputi tiga fase yaitu: 1) klarifikasi dan pertukaran ide-ide siswa, 2) penyajian konflik kognitif, dan 3) pengkonstruksian ide-ide baru. Penyajian konflik kognitif merupakan fase yang paling utama dan sangat penting sebagai upaya mengubah miskonsepsi siswa. (Sadia et al, 2003).
Berdasarkan pandangan psikologi kognitif, pengetahuan dapat direpresentasikan sebagai bentuk dari kerangka berpikir, tulisan, dan skema belajar. Skema dalam belajar dapat diartikan sebagai suatu “paket-paket” informasi dari beberapa topik yang dipelajari siswa. Kompleksitas dari kerangka berpikir siswa akan mempengaruhi proses pengorganisasian pengetahuan di dalam memori otak (Dole & Sinatra, 1998).
Teori Piaget menyebutkan bahwa terdapat 2 proses yang melibatkan perolehan pengetahuan. Pertama, proses perolehan pengetahuan siswa dapat dilakukan dengan proses asimilasi. Asilmilasi diartikan sebagai penambahan informasi, untuk membentuk struktur pengetahuan siswa yang sudah ada. Proses yang kedua adalah proses akomodasi yang diartikan sebagai modifikasi atau merubah struktur pengetahuan yang sudah ada. Vosniadou & Brewer (dalam Dole & Sinatra, 1998) menyebutkan bahwa akomodasi merupakan proses konstruksi pengetahuan yang radikal untuk menginterpretasikan kembali pengetahuan yang lama menjadi suatu konsepsi yang baru. Pandangan konstruktivis dapat dijelaskan bagaimana siswa memperoleh pengetahuan mengenai fenomena sains yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan perspektif konstruktivis, pengetahuan tidak ditransmisikan dari guru ke siswa tetapi pengetahuan tersebut dikonstruksikan oleh siswa melalui proses akomodasi. Perubahan konseptual pada siswa terjadi pada proses akomodasi.
Prakonsepsi merupakan konsepsi yang dihasilkan dari pengalaman informal pada kehidupan sehari-hari siswa (Duit, 1996). Terdapat banyak sumber dari prakonsepsi siswa. Bahasa merupakan sumber prakonsepsi siswa yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep siswa. Bahasa sering kali pada jaman sekarang tidak sesuai dengan pandangan ilmiah. Sebagai contoh, kata “matahari terbit” dapat diinterepretasikan bahwa matahari yang bergerak, padahal dalam konsepsi ilmiah bumilah yang bergerak mengelilingi matahari. Bahasa juga dapat menyediakan banyak skema umum dan sangat membantu siswa untuk situasi sehari-hari. Tetapi bahasa yang miskonsepsi akan sangat menyesatkan bila digunakan dalam pembelajaran. Sumber Prakonsepsi siswa yang kedua adalah adalah interaksi sosial antara anggota keluarga, teman, dan kelompok-kelompok tertentu. Interaksi sosial ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga membentuk “sains sehari-hari” (science everyday) dan digunakan dalam matematika sehari-hari. Sumber Prakonsepsi yang lainnya adalah media massa. Media yang sering dibaca dan dimengerti oleh siswa akan memberikan suatu Prakonsepsi kepada siswa, sehingga siswa menjadi lebih tahu dan memahami sains tersebut.
Secara umum, perspektif-perspektif tersebut menyatakan bahwa miskonsepsi berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil-hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat mengoptimalkan kejelasan materi-materi pembelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar dan pembelajaran. Prakonsepsi dan miskonsepsi juga mempengaruhi perasaan siswa dalam menilai informasi yang dipresentasikan dalam buku teks dan dalam kelas (Sadia & Suma, 2006). Banyak prakonsepsi dan miskonsepsi begitu resisten untuk terus berubah. Perubahan prakonsepsi dan miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas yang sangat terbatas, atau hanya sedikit konsepsi baru terbentuk dan diintegrasikan oleh para siswa ke dalam pengetahuan yang dimiliki.
Secara alamiah, pebelajar mengamati fenomena atau gejala alam dilingkungannya dan mengembangkan konsepsi-konsepsi yang sesuai dengan domain pengalaman mereka. Konsepsi ini pada umumnya tidak konsisten dengan pandangan ilmuwan. Konsepsi pebelajar tentang fenomena alam tersebut akan melekat dan terbawa dalam proses pembelajaran (Dole & Sinatra, 1998).
Miskonsepsi pebelajar merupakan faktor penting yang dapat membantu pebelajar memahami konsep-konsep IPA di sekolah, bahkan sering tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Pengajar dapat mengusahakan perubahan konseptual dalam kegiatan belajar mengajar dengan memahami konsep pebelajar. belajar akan bermakna dan informasi yang akan dipelajari akan bertahan lama dengan mengaitkan konsepsi awal pebelajar dengan konsepsi baru yang sedang dipelajari.
Menurut pandangan konstruktivis, mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan pengajar pada pebelajar, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi pebelajar yang sudah ada menjadi konsepsi ilmiah. Salah satu cara untuk merubah miskonsepsi siswa adalah dengan merancang pembelajaran yang dapat membantu pebelajar mengubah atau merestrukturisasi miskonsepsi-miskonsepsi tersebut.
Metode umum yang digunakan untuk menangani miskonsepsi adalah dengan pembelajaran konflik kognitif yang dijelaskan lebih lanjut oleh Liew dan Treagust (dalam Presscott, 2005) dengan pembelajaran predict-observe-explain. Pembelajaran ini mengaitkan konflik antara apa yang diprediksi dan diobservasi dapat mengkonstruksi struktur kognitif yang baru dari siswa.
Sadia et al (2003) menyebutkan bahwa langkah-langkahyang dilakukan untuk merubah miskonsepsi siswa adalah sebagai berikut: 1) memperluas rentang penerapan suatu konsepsi, 2) mendefinisikan suatu konsepsi, 3) membagun jembatan pengalaman menuju konsepsi baru, 4) membuka problem yang konseptual, 5) menggunakan strategi analogi, dan 6) membangun konsepsi alternatif yang baru. Prosedur pembelajaran dalam model konflik kognitif terdiri dari lima tahap yaitu: 1) identifikasi tujuan pembelajaran; 2) identifikasi dan klasifikasi pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa; 3) perencanaan program pembelajaran; 4) implementasi program pembelajaran, dan ) evaluasi. Tahap implementasi program terdiri dari 5 langkah yaitu: (1) orientasi dan pengalaman belajar, (2) menggali ide-ide siswa, 3) restrukturisasi ide-ide siswa, 4) aplikasi ide-ide siswa, dan review perubahan ide-ide siswa. Langkah restrukturisasi ide-ide atau konsep siswa merupakan bagian inti dari proses pembelajaran. Langkah restrukturisasi meliputi tiga fase yaitu: 1) klarifikasi dan pertukaran ide-ide siswa, 2) penyajian konflik kognitif, dan 3) pengkonstruksian ide-ide baru. Penyajian konflik kognitif merupakan fase yang paling utama dan sangat penting sebagai upaya mengubah miskonsepsi siswa. (Sadia et al, 2003).
Berdasarkan pandangan psikologi kognitif, pengetahuan dapat direpresentasikan sebagai bentuk dari kerangka berpikir, tulisan, dan skema belajar. Skema dalam belajar dapat diartikan sebagai suatu “paket-paket” informasi dari beberapa topik yang dipelajari siswa. Kompleksitas dari kerangka berpikir siswa akan mempengaruhi proses pengorganisasian pengetahuan di dalam memori otak (Dole & Sinatra, 1998).
Teori Piaget menyebutkan bahwa terdapat 2 proses yang melibatkan perolehan pengetahuan. Pertama, proses perolehan pengetahuan siswa dapat dilakukan dengan proses asimilasi. Asilmilasi diartikan sebagai penambahan informasi, untuk membentuk struktur pengetahuan siswa yang sudah ada. Proses yang kedua adalah proses akomodasi yang diartikan sebagai modifikasi atau merubah struktur pengetahuan yang sudah ada. Vosniadou & Brewer (dalam Dole & Sinatra, 1998) menyebutkan bahwa akomodasi merupakan proses konstruksi pengetahuan yang radikal untuk menginterpretasikan kembali pengetahuan yang lama menjadi suatu konsepsi yang baru. Pandangan konstruktivis dapat dijelaskan bagaimana siswa memperoleh pengetahuan mengenai fenomena sains yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan perspektif konstruktivis, pengetahuan tidak ditransmisikan dari guru ke siswa tetapi pengetahuan tersebut dikonstruksikan oleh siswa melalui proses akomodasi. Perubahan konseptual pada siswa terjadi pada proses akomodasi.
Miskonsepsi
Reviewed by Sastra Project
on
January 09, 2013
Rating:
ReplyDeleteThank you, your article is very good
viagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta