Système d’Appresentissage Collaboration base sur le modèle d’Agent (SACA) merupakan model pembelajaan kolaboratif dengan menggunakan model agen dalam pelaksanaan pembelajarannya. Pembelajaran kolaboratif, guru memonitor kelompok secara aktif dan permasalahan hanya dipecahkan oleh siswa. Kemudian hasilnya didiskusikan dan dicatat apa yang bisa dicapai dalam pembelajaran. Masing-masing proyek diakhiri dengan suatu diskusi. Para siswa diharapkan untuk mencatat dari apa yang mereka bisa capai. Pelajaran yang kolaboratif meliputi kepercayaan bahwa para siswa telah memiliki kemampuan sosial untuk bekerja kelompok.
Menurut Gokhale (1995), konsep pembelajaran kolaboratif yaitu pengelompokan dan mempasang-pasangkan para siswa untuk kepentingan menuju keberhasilan suatu tujuan akademis. Istilah pembelajaran kolaboratif mengacu pada suatu metode instruksi di mana para siswa pada berbagai tingkatan pencapaian bekerja sama di dalam kelompok kecil menuju ke arah suatu tujuan. Para siswa bertanggung jawab kepada kelompok belajarnya seperti halnya dengan dirinya sendiri. Sehingga, keberhasilan seorang siswa membantu siswa lain untuk berhasil juga. Pembelajaran kolaboratif mengakui bahwa pertukaran gagasan yang aktif di dalam kelompok kecil tidak hanya meningkatkan dan menarik perhatian di antara peserta didik tetapi juga memunculkan kemampuan berpikir kritis.
SACA didasarkan pada model agen di mana siswa berinteraksi untuk mempelajari suatu konsep pengetahuan, di mana siswa diajarkan untuk memecahkan suatu permasalahan melalui banyak latihan. Interaksi ini memastikan ada berbagai tugas dari guru, seperti menyediakan pelajaran, penilaian dan kerja sama/kolaborasi sehingga siswa dapat saling berinteraksi dalam pembelajaran. Dalam model pembelajaran SACA guru akan bertindak sebagai agen. Agen ini akan menjadi fasilitator bagi siswa dalam proses pembelajaran dan mengkolaborasikan perbedaan dari pembelajaran. Agen/guru yang ada dalam SACA berinteraksi dengan siswa untuk memastikan siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dan melakukan penilaian. SACA didasarkan pada suatu agen. Masing-masing pelajar mempunyai agen tiruan sebagai berikut (Lafifi dan Bensebaa, 2007b).
1) Agen asisten pelajar: mengusulkan suatu alat penghubung kepada pelajar sehingga kegiatan belajar menjadi lebih mudah. Agen asisten ini membantu siswa dalam proses belajar dengan menjadi fasilitator bagi siswa.
2) Agen pedagogik: peranannya adalah menyajikan sasaran hasil yang bersifat pendidikan kepada pelajar. Agen pedagogik ini mengatur standard kompetensi dan kompetensi dasar pelajaran.
3) Agen kolaborasi: agen yang mempertimbangkan kerja sama/kolaborasi siswa dalam proses pembelajaran jika ditemukan suatu permasalahan.
4) Agen penilai: perannya yaitu mengukur tingkat pengetahuan siswa. Agen ini yang akan memberikan penilaian terhadap proses belajar siswa.
Agen dalam hal ini adalah guru. Guru memiliki tugas sebagai fasilitator siswa, membantu siswa dalam berkolaborasi, dan menilai proses pembelajaran siswa. Model pembelajaran SACA menggunakan sistem team teaching. Penerapan model SACA menggunakan tiga orang guru, di mana masing-masing guru akan memiliki tugasnya masing-masing. Sehingga kegiatan pembelajaran siswa menjadi lebih optimal karena guru tidak lagi merangkap dalam hal memfasilitasi dan memediasi siswa maupun dalam menilai siswa karena sudah terbagi-bagi tugasnya.
Agen dalam SACA berkolaborasi dalam mendukung aktivitas dari pebelajar seperti menstrukturisasi pengetahuan yang akan diberikan untuk siswa, menilai pengetahuan yang diperoleh siswa, mempertimbangkan kolaborasi di antara pebelajar, dan menindaklanjuti pengetahuan siswa. Wooldridge dan Jennings (dalam Azevedo et al, 2004) mengemukakan ada beberapa sifat dari agen antara lain sebagai berikut.
a. Otonomi: bisa melaksanakan tugas tanpa campur tangan orang atau agen lain dan mempunyai pengendalian diri terhadap sikap dan keadaan internalnya.
b. Kemampuan sosial: bisa berinteraksi dengan orang atau agen lain untuk memecahkan permasalahan-permasalahan atau membantu memberikan solusi masalahan yang lain.
c. Reaktif: bisa merasakan lingkungannya dan merespon menurut perubahannya.
d. Proaktif: agen tidak hanya respon terhadap lingkungannya, tetapi juga mengambil inisiatif dalam mencapai tujuannya.
Guizzardi et al (2002) menyatakan bahwa penggunaan agen dalam pembelajaran sangat berperan penting dalam mendukung efektivitas, fleksibilitas, dan personalisasi keseluruhan proses. Agen menyediakan siswa suatu lingkungan yang kolaboratif dalam belajar baik interaksi di luar maupun di dalam kelas. Hal ini berarti di manapun proses belajar siswa tidak akan terlepas dari interaksi baik dengan siswa lain maupun dengan agen/guru.
Matthews (dalam Azevedo et al, 2004) mengatakan bahwa antara pembelajaran kooperatif dan kolaboratif menggunakan pendekatan student-centered yang dipercaya sebagai pembelajaran aktif yang lebih efisien dari yang teacher-centered. Guru menjadi fasilitator sebagai pengganti pusat pengetahuan. Kedua metode ini mempertahankan partisipasi dalam aktivitas kelompok kecil mengembangkan kemampuan untuk pemikiran tingkat superior dan meningkatkan kemampuan individu dalam menggunakan pengetahuannya.
Lipman dan Wenger mengatakan bahwa, di dalam pelajaran kolaboratif, interaksi memainkan peran penting dalam kaitan dengan konteks dan proses bidang pendidikan (dalam Erlin et al, 2008). Inter-aktivitas atau interaksi adalah dasar dalam menciptakan masyarakat belajar dan berpengaruh pada bidang pendidikan yang memusatkan pada peran masyarakat yang kritis dalam pembelajaran.
Kesuksesan dalam praktek-praktek pembelajaran memiliki sifat-sifat yang didukung oleh beberapa alasan. Pertama, partisipasi aktif siswa. Pembelajaran efektif terjadi apabila para siswa secara aktif terlibat dalam tugas-tugas yang bermakna dan aktif terlibat dalam berinteraksi dengan isi pelajaran. Kedua, praktek. Dalam konteks-konteks yang bervariasi, praktek dapat memperbaiki retensi dan kemampuan menerapkan pengetahuan baru, keterampilan, dan sikap. Ketiga, perbedaan-perbedaan individu. Metode pembelajaran dikatakan efektif apabila dapat mengatasi perbedaan-perbedaan individu dalam hal personalitas, bakat umum, dan pengetahuan awal siswa. Keempat, balikan. Balikan sangat diperlukan untuk menentukan posisi diri siswa sendiri tentang tugas yang dikerjakan. Kelima, konteks-konteks realistik. Para siswa paling mudah mengingat dan menerapkan pengetahuan yang direpresentasikan dalam suatu konteks dunia nyata. Keenam, interaksi sosial. Melayani kemanusiaan sebagai tutor atau anggota kelompok teman sebaya dapat menyediakan sejumlah pedagogik dan juga dukungan-dukungan sosial (Santyasa, 2006).
Menurut Halwat dan Masykuroh (2006), metode pembelajaran kolaboratif dimaksud untuk membuat siswa lebih mandiri dan aktif dengan belajar bersama dalam memecahkan suatu permasalahan di mana mereka saling memberi masukan. Dengan demikian diharapkan umpan balik dari sesama siswa (peer-response) akan lebih cepat diterima siswa bersangkutan dan selanjutnya perbaikan terhadap pemecahan masalah yang dibuat akan lebih cepat dengan tetap di bawah bimbingan pengajar. Ada beberapa langkah dalam pembelajaran SACA antara lain sebagai berikut (Lafifi dan Bensebaa, 2007b).
1) Observation: meliputi kegiatan untuk menemukan dan mengajukan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menghubungkan permasalahan yang diberikan dengan kehidupannya sehingga dapat ditarik suatu hipotesis.
2) Brainstorming: mencakup mengungkapkan pendapat berdasarkan hipotesis yang diusulkan siswa. Adanya kegiatan ini akan memunculkan pendapat-pendapat dari banyak siswa.
3) Drafting: menentukan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas sehingga apa yang dihipotesiskan menjadi lebih kuat atau bahkan menimbulkan suatu permasalahan baru.
4) Discussing: meliputi kegiatan mendiskusikan permasalahan dengan masing-masing kelompok untuk mengkolaborasikan jawaban sehingga menjadi pemecahan terhadap permasalahan.
5) Revising: meninjau kembali pemecahan masalah yang sudah didiskusikan dengan mengumpulkan bukti-bukti melalui buku, bahkan melakukan percobaan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang jelas.
6) Communicating: mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah melalui kegiatan presentasi kelompok.
Okamoto dan Inaba menyatakan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah sebuah strategi pembelajaran, di mana beberapa pebelajar berinteraksi dengan yang lainnya untuk mencapai tujuannya (dalam Lafifi dan Bensebaa, 2007a). Hal ini dipastikan berdampak pada tingkatan pebelajar, ini sudah nyata perlu meningkatkan ketertarikan akan lingkungan belajar kelompok sebagai ganti lingkungan belajar yang individual. Tujuan utama SACA adalah untuk mempertimbangkan keserasian dan kebutuhan pelajar selama bekerja sama menyediakan pebelajar suatu kolaborasi yang efektif. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan kapasitas pebelajar.
Prinsip penilaian pebelajar dalam SACA dibagi dalam beberapa kategori yaitu sebagai berikut.
1) Alat penilaian
Menurut Govaere (dalam Lafifi dan Bensebaa, 2007a), penilaian adalah hal yang penting dalam sistem pendidikan. Hal ini menunjukkan tingkat kognitif dari pebelajar. Lebih dari itu, pada akhir dari proses penilaian, sistem bisa memperoleh informasi tentang pengetahuan yang sudah diperoleh, pengetahuan yang sedang diperoleh, dan pengetahuan yang tidak diperoleh. Menurut Cuadrado (dalam Lafifi dan Bensebaa, 2007a), setiap sistem pembelajaran bertujuan untuk mencapai kualitas pengajaran/proses pembelajaran harus mencapai beberapa nilai dalam mencapai tingkat sukses. Tugas atau pertanyaan adalah alat yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan pebelajar, misalnya pencapaian pengetahuan tentang konsep-konsep.
2) Penilaian individu dan kolaboratif
Untuk mendefinisikan tingkatan pebelajar dengan jelas dan memastikan adanya penilaian terbaik, bisa digunakan beberapa jenis latihan (latihan dalam bentuk yang berbeda-beda), seperti: 1) latihan individu tanpa kolaborasi/kerja sama, 2) latihan individu dengan kolaborasi/kerja sama. Menurut Santyasa (2006), Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimalisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu: (1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata; (2) menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna. sintaks pembelajarannya yaitu:
Menurut Gokhale (1995), konsep pembelajaran kolaboratif yaitu pengelompokan dan mempasang-pasangkan para siswa untuk kepentingan menuju keberhasilan suatu tujuan akademis. Istilah pembelajaran kolaboratif mengacu pada suatu metode instruksi di mana para siswa pada berbagai tingkatan pencapaian bekerja sama di dalam kelompok kecil menuju ke arah suatu tujuan. Para siswa bertanggung jawab kepada kelompok belajarnya seperti halnya dengan dirinya sendiri. Sehingga, keberhasilan seorang siswa membantu siswa lain untuk berhasil juga. Pembelajaran kolaboratif mengakui bahwa pertukaran gagasan yang aktif di dalam kelompok kecil tidak hanya meningkatkan dan menarik perhatian di antara peserta didik tetapi juga memunculkan kemampuan berpikir kritis.
SACA didasarkan pada model agen di mana siswa berinteraksi untuk mempelajari suatu konsep pengetahuan, di mana siswa diajarkan untuk memecahkan suatu permasalahan melalui banyak latihan. Interaksi ini memastikan ada berbagai tugas dari guru, seperti menyediakan pelajaran, penilaian dan kerja sama/kolaborasi sehingga siswa dapat saling berinteraksi dalam pembelajaran. Dalam model pembelajaran SACA guru akan bertindak sebagai agen. Agen ini akan menjadi fasilitator bagi siswa dalam proses pembelajaran dan mengkolaborasikan perbedaan dari pembelajaran. Agen/guru yang ada dalam SACA berinteraksi dengan siswa untuk memastikan siswa mengikuti kegiatan pembelajaran dan melakukan penilaian. SACA didasarkan pada suatu agen. Masing-masing pelajar mempunyai agen tiruan sebagai berikut (Lafifi dan Bensebaa, 2007b).
1) Agen asisten pelajar: mengusulkan suatu alat penghubung kepada pelajar sehingga kegiatan belajar menjadi lebih mudah. Agen asisten ini membantu siswa dalam proses belajar dengan menjadi fasilitator bagi siswa.
2) Agen pedagogik: peranannya adalah menyajikan sasaran hasil yang bersifat pendidikan kepada pelajar. Agen pedagogik ini mengatur standard kompetensi dan kompetensi dasar pelajaran.
3) Agen kolaborasi: agen yang mempertimbangkan kerja sama/kolaborasi siswa dalam proses pembelajaran jika ditemukan suatu permasalahan.
4) Agen penilai: perannya yaitu mengukur tingkat pengetahuan siswa. Agen ini yang akan memberikan penilaian terhadap proses belajar siswa.
Agen dalam hal ini adalah guru. Guru memiliki tugas sebagai fasilitator siswa, membantu siswa dalam berkolaborasi, dan menilai proses pembelajaran siswa. Model pembelajaran SACA menggunakan sistem team teaching. Penerapan model SACA menggunakan tiga orang guru, di mana masing-masing guru akan memiliki tugasnya masing-masing. Sehingga kegiatan pembelajaran siswa menjadi lebih optimal karena guru tidak lagi merangkap dalam hal memfasilitasi dan memediasi siswa maupun dalam menilai siswa karena sudah terbagi-bagi tugasnya.
Agen dalam SACA berkolaborasi dalam mendukung aktivitas dari pebelajar seperti menstrukturisasi pengetahuan yang akan diberikan untuk siswa, menilai pengetahuan yang diperoleh siswa, mempertimbangkan kolaborasi di antara pebelajar, dan menindaklanjuti pengetahuan siswa. Wooldridge dan Jennings (dalam Azevedo et al, 2004) mengemukakan ada beberapa sifat dari agen antara lain sebagai berikut.
a. Otonomi: bisa melaksanakan tugas tanpa campur tangan orang atau agen lain dan mempunyai pengendalian diri terhadap sikap dan keadaan internalnya.
b. Kemampuan sosial: bisa berinteraksi dengan orang atau agen lain untuk memecahkan permasalahan-permasalahan atau membantu memberikan solusi masalahan yang lain.
c. Reaktif: bisa merasakan lingkungannya dan merespon menurut perubahannya.
d. Proaktif: agen tidak hanya respon terhadap lingkungannya, tetapi juga mengambil inisiatif dalam mencapai tujuannya.
Guizzardi et al (2002) menyatakan bahwa penggunaan agen dalam pembelajaran sangat berperan penting dalam mendukung efektivitas, fleksibilitas, dan personalisasi keseluruhan proses. Agen menyediakan siswa suatu lingkungan yang kolaboratif dalam belajar baik interaksi di luar maupun di dalam kelas. Hal ini berarti di manapun proses belajar siswa tidak akan terlepas dari interaksi baik dengan siswa lain maupun dengan agen/guru.
Matthews (dalam Azevedo et al, 2004) mengatakan bahwa antara pembelajaran kooperatif dan kolaboratif menggunakan pendekatan student-centered yang dipercaya sebagai pembelajaran aktif yang lebih efisien dari yang teacher-centered. Guru menjadi fasilitator sebagai pengganti pusat pengetahuan. Kedua metode ini mempertahankan partisipasi dalam aktivitas kelompok kecil mengembangkan kemampuan untuk pemikiran tingkat superior dan meningkatkan kemampuan individu dalam menggunakan pengetahuannya.
Lipman dan Wenger mengatakan bahwa, di dalam pelajaran kolaboratif, interaksi memainkan peran penting dalam kaitan dengan konteks dan proses bidang pendidikan (dalam Erlin et al, 2008). Inter-aktivitas atau interaksi adalah dasar dalam menciptakan masyarakat belajar dan berpengaruh pada bidang pendidikan yang memusatkan pada peran masyarakat yang kritis dalam pembelajaran.
Kesuksesan dalam praktek-praktek pembelajaran memiliki sifat-sifat yang didukung oleh beberapa alasan. Pertama, partisipasi aktif siswa. Pembelajaran efektif terjadi apabila para siswa secara aktif terlibat dalam tugas-tugas yang bermakna dan aktif terlibat dalam berinteraksi dengan isi pelajaran. Kedua, praktek. Dalam konteks-konteks yang bervariasi, praktek dapat memperbaiki retensi dan kemampuan menerapkan pengetahuan baru, keterampilan, dan sikap. Ketiga, perbedaan-perbedaan individu. Metode pembelajaran dikatakan efektif apabila dapat mengatasi perbedaan-perbedaan individu dalam hal personalitas, bakat umum, dan pengetahuan awal siswa. Keempat, balikan. Balikan sangat diperlukan untuk menentukan posisi diri siswa sendiri tentang tugas yang dikerjakan. Kelima, konteks-konteks realistik. Para siswa paling mudah mengingat dan menerapkan pengetahuan yang direpresentasikan dalam suatu konteks dunia nyata. Keenam, interaksi sosial. Melayani kemanusiaan sebagai tutor atau anggota kelompok teman sebaya dapat menyediakan sejumlah pedagogik dan juga dukungan-dukungan sosial (Santyasa, 2006).
Menurut Halwat dan Masykuroh (2006), metode pembelajaran kolaboratif dimaksud untuk membuat siswa lebih mandiri dan aktif dengan belajar bersama dalam memecahkan suatu permasalahan di mana mereka saling memberi masukan. Dengan demikian diharapkan umpan balik dari sesama siswa (peer-response) akan lebih cepat diterima siswa bersangkutan dan selanjutnya perbaikan terhadap pemecahan masalah yang dibuat akan lebih cepat dengan tetap di bawah bimbingan pengajar. Ada beberapa langkah dalam pembelajaran SACA antara lain sebagai berikut (Lafifi dan Bensebaa, 2007b).
1) Observation: meliputi kegiatan untuk menemukan dan mengajukan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menghubungkan permasalahan yang diberikan dengan kehidupannya sehingga dapat ditarik suatu hipotesis.
2) Brainstorming: mencakup mengungkapkan pendapat berdasarkan hipotesis yang diusulkan siswa. Adanya kegiatan ini akan memunculkan pendapat-pendapat dari banyak siswa.
3) Drafting: menentukan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas sehingga apa yang dihipotesiskan menjadi lebih kuat atau bahkan menimbulkan suatu permasalahan baru.
4) Discussing: meliputi kegiatan mendiskusikan permasalahan dengan masing-masing kelompok untuk mengkolaborasikan jawaban sehingga menjadi pemecahan terhadap permasalahan.
5) Revising: meninjau kembali pemecahan masalah yang sudah didiskusikan dengan mengumpulkan bukti-bukti melalui buku, bahkan melakukan percobaan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang jelas.
6) Communicating: mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah melalui kegiatan presentasi kelompok.
Okamoto dan Inaba menyatakan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah sebuah strategi pembelajaran, di mana beberapa pebelajar berinteraksi dengan yang lainnya untuk mencapai tujuannya (dalam Lafifi dan Bensebaa, 2007a). Hal ini dipastikan berdampak pada tingkatan pebelajar, ini sudah nyata perlu meningkatkan ketertarikan akan lingkungan belajar kelompok sebagai ganti lingkungan belajar yang individual. Tujuan utama SACA adalah untuk mempertimbangkan keserasian dan kebutuhan pelajar selama bekerja sama menyediakan pebelajar suatu kolaborasi yang efektif. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan kapasitas pebelajar.
Prinsip penilaian pebelajar dalam SACA dibagi dalam beberapa kategori yaitu sebagai berikut.
1) Alat penilaian
Menurut Govaere (dalam Lafifi dan Bensebaa, 2007a), penilaian adalah hal yang penting dalam sistem pendidikan. Hal ini menunjukkan tingkat kognitif dari pebelajar. Lebih dari itu, pada akhir dari proses penilaian, sistem bisa memperoleh informasi tentang pengetahuan yang sudah diperoleh, pengetahuan yang sedang diperoleh, dan pengetahuan yang tidak diperoleh. Menurut Cuadrado (dalam Lafifi dan Bensebaa, 2007a), setiap sistem pembelajaran bertujuan untuk mencapai kualitas pengajaran/proses pembelajaran harus mencapai beberapa nilai dalam mencapai tingkat sukses. Tugas atau pertanyaan adalah alat yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan pebelajar, misalnya pencapaian pengetahuan tentang konsep-konsep.
2) Penilaian individu dan kolaboratif
Untuk mendefinisikan tingkatan pebelajar dengan jelas dan memastikan adanya penilaian terbaik, bisa digunakan beberapa jenis latihan (latihan dalam bentuk yang berbeda-beda), seperti: 1) latihan individu tanpa kolaborasi/kerja sama, 2) latihan individu dengan kolaborasi/kerja sama. Menurut Santyasa (2006), Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimalisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu: (1) realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata; (2) menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna. sintaks pembelajarannya yaitu:
Fase
|
Kegiatan
|
Persiapan
|
1)
Guru mengkondisikan kelas
dalam situasi yang kondusif untuk belajar.
2)
Guru
memberikan motivasi dan apersepsi kepada siswa.
3)
Guru
menyampaikan kompetensi dasar dan indikator pencapaian.
|
Inti
|
|
Observation
|
1)
Guru memusatkan perhatian
siswa pada permasalahan yang akan dipelajari.
2)
Guru mengajukan permasalahan
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari untuk dipecahkan oleh siswa melalui
Lembar Kerja Siswa (LKS).
|
Brainstorming
|
1)
Guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengerjakan LKS.
2)
Melalui LKS, siswa diajak
memprediksikan dan membuat ide-ide yang berhubungan dengan permasalahan.
Siswa mendapat kesempatan untuk mengajukan pendapatnya.
3)
Siswa membuat suatu hipotesis
awal mengenai permasalahan yang diberikan.
|
Drafting
|
Pada fase ini,
siswa mencari sumber-sumber untuk memcahkan permasalahan dan untuk menguatkan
hipotesis yang telah dibuat.
|
Discussing
|
1)
Pada fase ini, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dalam kelompok.
2)
Siswa mengkolaborasikan
pemecahan permasalahan yang sudah dibuat dengan anggota kelompoknya sehingga
diperoleh pemecahan yang lebih baik.
3)
Fase ini menimbulkan
interaksi siswa dengan siswa lain dan siswa dengan guru (terutama agen
asisten pelajar dan agen kolaborasi). Agen asisten pelajar dan agen
kolaborasi membantu siswa dalam proses kolaborasi pada maing-masing kelompok.
4)
Agen penilai melakukan
penilaian terhadap kegiatan siswa dalam berdiskusi kelompok dengan
menggunakan lembar observasi.
|
Revising
|
1)
Pada fase ini siswa mendapat
kesempatan untuk meninjau kembali pemecahan masalah yang sudah dibuat dengan
mengumpulkan bukti-bukti melalui suatu percobaan atau pengamatan.
2)
Agen asisten dan kolaborasi
membantu siswa dalam melaksanakan percobaan membuktikan pemecahan masalah
yang dibuat guna menarik kesimpulan yang lebih jelas.
3)
Agen penilai mengobservasi
kegiatan belajar siswa.
|
Communicating
|
1)
Setelah pemecahan dibuat maka
siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
pada kegiatan diskusi kelas. Beberapa kelompok ditunjuk untuk
mempresentasikan pemecahan masalah yang dibuat.
2)
Keterampilan
menginterpretasikan temuan, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan merupakan
tujuan fase ini. Selain sikap keterbukaan, mengemukakan pendapat ilmiah,
menanggapi pendapat orang lain, dan menerima pendapat orang lain dikembangkan
dalam fase ini.
3)
Peran guru (agen) dalam fase
ini adalah sebagai fasilitator dan menuntun kegiatan diskusi kelas. Agen
kolaborasi dapat memberikan klarifikasi terhadap pemecahan masalah siswa jika
terjadi miskonsepsi.
4)
Pada fase ini juga dilakukan
observasi terhadap aktivitas siswa dalam diskusi kelompok mengenai interaksi
siswa dalam diskusi kelas.
|
Penutup
|
1)
Mengajak peserta didik untuk
menyimpulkan materi yang telah diajarkan.
2)
Melaksanakan tindak lanjut
pembelajaran dengan pemberian tugas atau latihan yang harus dikerjakan di
rumah, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya jika ada materi yang
belum dimengerti.
3)
Mengemukakan topik yang akan
dibahas pada pertemuan selanjutnya.
4)
Memberikan evaluasi.
|
Model Pembelajaran Système d’Appresentissage Collaboration base sur le modèle d’Agent (SACA)
Reviewed by Sastra Project
on
January 12, 2013
Rating:
No comments:
Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini