Emotional Intelligence (EI)

Emosional sering juga disebut dengan emosi, berasal dari kata “movere” yang merupakan bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak” yang memberikan arti kecenderungan bertindak dan merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 2004). Menurut Goleman (2004), manusia memiliki dua jenis pikiran, yang satu merupakan tindakan pikiran emosional sedangkan yang lain merupakan tindakan rasional. Pikiran rasional merupakan model pemahaman yang biasa kita sadari, lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati, dan merefleksi, sedangkan pikiran emosional biasanya impulsif dan berpengaruh besar, dan kadang-kadang tidak logis. Dikotomi emosional dan rasional kurang lebih sama dengan istilah antara “hati” dan “kepala”, untuk mengetahui sesuatu itu benar atau tidak, maka digunakan hati (Goleman, 2004).

Goleman (2004) mengatakan bahwa akar kehidupan emosional kita yang paling kuno adalah indra penciuman (lobus olfaktori), yaitu sel yang menerima dan menganalisis bau. Pada jaman primitif, bau dipercaya sebagai indra yang paling penting untuk kelangsungan hidup. Hippocampus dan amigdala merupakan dua bagian penting “otak hidung” primitif yang dalam evolusi memunculkan korteks serta kemudian neokorteks. Sampai saat ini, kedua struktur limbik itu melakukan sebagian besar atau banyak ingatan dan pembelajaran otak. Amigdala merupakan spesialis masalah-masalah emosional. Jika amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang sangat mencolok dalam menangkap makna emosional suatu peristiwa, yang kadang disebut dengan “kebutaan afektif”. Tanpa amigdala, kita akan kehilangan semua pemahaman tentang perasaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tanpa amigdala, maka kehidupan tidak mempunyai makna pribadi.

LeDoux (dalam Goleman, 2004) mengatakan bahwa kita kadang dibingungkan oleh ledakan emosi karena ledakan itu sering kali berasal dari masa-masa awal kehidupan kita. Ini berarti, kecerdasan emosional itu sudah terbentuk sejak kecil, bahkan masih bayi. Dikatakan pula, walaupun demikian adanya, namun kecerdasan emosional itu bisa dilatih.

Informasi emosional disampaikan dalam isyarat komunikasi yang unik, seperti pola teladan berhubungan isyarat dari afektif dan kognitif. Informasi emosional diproses pada area komunikasi yang ditingkatkan yang dimiliki oleh mamalia, seperti bahasa manusia. Ini berbeda dari sebuah bahasa, tetapi dibatasi pada pelibatan pemahaman tentang hubungan antar manusia dan menjadi lebih sempit namun lebih luas dari hubungan komunikasi verbal jenis lain (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004). Perbedaan jenis kecerdasan dibedakan menurut informasi yang mereka gunakan. Contohnya kecerdasan proposisi verbal fokus untuk mendalami kosakata, kalimat, dan perluasannya. Menurut mereka, EI dipengaruhi oleh perluasan pembelajaran kecerdasan untuk banyak jenis kecerdasan. Mereka lebih tertarik melakukan penelitian mengenai kecerdasan yang lebih banyak berfungsi dalam sosial, praktek, pribadi, dan informasi emosional.

Kecerdasan emosional sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak kasus terjadi akibat kecerdasan emosional yang kurang dan kemampuan mengatur emosi/emosional masih rendah. Misalnya, banyak orang bunuh diri walaupun dia sehat dan tergolong orang yang cerdas. Hal ini bisa terjadi walaupun kecerdasan intelektual (IQ) seseorang tinggi, namun dari segi emosi, mereka tidak mampu menguasai dan mengelolanya (Goleman, 2004).

Banyak media cetak ataupun elektronik yang menyajikan berita mengenai kasus bunuh diri. Salah satunya adalah Harian Bali Post yang juga banyak memuat berita tentang perilaku bunuh diri di kalangan pelajar. Bahkan pada kurun waktu 2005-2006, ditemukan terdapat 185 kasus bunuh diri dan 22 kasus yang di antaranya adalah kalangan pelajar, yaitu SD 4 kasus, SMP 8 kasus, SMA 8 kasus, dan SMK 2 kasus yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali.

Penyebab bunuh diri di Bali ini sangat bervariasi yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok/faktor ekonomi -- non ekonomi, kelompok dari dalam diri individu dan dari luar individu pelaku, serta kelompok hubungan sosial yang kurang serasi (baik hubungan vertikal antara anak dengan orang tua maupun hubungan horizontal antara anak dengan anak yang lainnya) (Sudhita, 2006).

Eniola (2007) berpendapat bahwa kemampuan dan keterampilan dari EI dibagi menjadi empat jenis, yaitu a) merasakan emosi, b) menggunakan emosi untuk memudahkan pikiran, c) memahami emosi, dan d) mengatur emosi, yang akan berpengaruh pada perilaku agresif untuk mengenali bagaimana keadaan sekitarnya.

Menurut Salovey (dalam Goleman, 2004), kecerdasan emosional dibagi menjadi lima bagian utama yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Pada kenyataannya, kelima bagian tersebut sangat menentukan keberhasilan kita di mana kita berada. Tipe murni IQ tinggi (dengan mengesampingkan kecerdasan emosional), hampir merupakan karikatur kaum intelektual, terampil di dunia pemikiran tetapi canggung di dunia pribadi.

Goleman (2004) mengatakan bahwa banyak bukti yang memperlihatkan orang-orang yang cakap secara emosional, yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan afektif akan memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan. Gardner (2003) mengatakan satu-satunya sumbangan paling penting dari pendidikan untuk perkembangan seorang anak adalah membantunya menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten.

Gardner dalam bukunya Frames of Mind menyatakan bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting dalam meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama. Dua di antara varietas yang dimaksud adalah kecakapan verbal dan matematik-logika. Kemudian ditambahkan lagi dengan dua kecerdasan yang disebut dengan “kecerdasan pribadi” yaitu kecakapan antar pribadi dan kecapakan intrapsikis. Kecerdasan antar pribadi dikembangkan menjadi empat kemampuan tersendiri yaitu kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dan mempertahankan persahabatan, kemampuan menyelesaikan konflik, dan keterampilan analisis sosial. Pandangan dengan kecerdasan multifaset/ganda ini lebih kaya tentang kemampuan dan potensi keberhasilan seorang anak daripada kecerdasan intelektual (IQ) yang baku (Gardner, 2003).

Gardner (2003) juga mengatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, dicantumkan akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku. Sternberg (dalam Goleman, 2004) juga mendapatkan hasil penelitian yang senada, bahwa, kecerdasan sosial berbeda dari kemampuan akademis dan sekaligus merupakan bagian penting dari apa yang membuat orang sukses dalam kehidupan sehari-hari.

Hatch dan Gardner (dalam Goleman, 2004) mengidentifikasi kecerdasan antarpribadi menjadi empat, yaitu: mengorganisir kelompok, merundingkan pemecahan, hubungan pribadi, dan analisis sosial. Dengan demikian bahwa, jika anak memiliki kecerdasan antar pribadi, mereka senantiasa akan berhasil dalam studinya. Kecerdasan antar pribadi ini disebut kecerdasan emosional oleh Daniel Goleman.

Suparno (2004) menyebutkan bahwa inteligensi intra personal adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri juga termasuk ke dalam inteligensi intrapersonal. Orang ini punya kesadaran tinggi akan gagasan-gagasannya dan mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi. Ia sadar akan tujuan hidupnya. Ia dapat mengatur perasaan dan emosinya sehingga kelihatan sangat tenang.

Orang yang menonjol dalam inteligensi intra personal biasanya mudah berkonsentrasi dengan baik. Ia mempunyai kesadaran diri dan dapat mengekspresikan perasaan-perasaan mereka yang berbeda dengan tenang. Pengenalan akan dirinya sendiri sungguh mendalam dan seimbang. Kesadaran akan realitas spiritual juga sangat tinggi. Orangnya kebanyakan refleksif dan suka bekerja sendirian. Bahkan, kadang mereka suka menyepi sendiri di tempat terasing (Suparno, 2004).

Siswa yang memiliki inteligensi intra personal yang menonjol sering kelihatan pendiam, lebih suka bermenung di kelas. Jika ada waktu istirahat, jika teman-temannya sedang bermain, ia kadang lebih suka sendirian berefleksi atau berpikir. Ia lebih suka bekerja sendiri. Bila guru memberikan tugas bebas, siswa ini kadang diam lama merenungkan tugasnya sebelum mengerjakannya sendiri. Ia tidak tertarik bahwa teman-temannya mengerjakan tugas itu berkelompok (Suparno, 2004).

Inteligensi interpersonal/antar pribadi adalah kemampuan untuk mengerti dan mengenali perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, isyarat dari orang lain juga termasuk dalam inteligensi interpersonal. Secara umum, inteligensi interpersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi dan komunikasi dengan berbagai orang. Inteligensi ini banyak dijumpai pada para komunikator, fasilitator, dan penggerak massa (Suparno, 2004).

Orang yang kuat dalam inteligensi inter personal biasanya sangat mudah bekerja sama dengan orang lain, mudah berkomunikasi dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain bagi mereka menyenangkan dan sepertinya keluar begitu saja secara otomatis. Mereka dengan mudah mengenali dan membedakan perasaan serta apa yang dialami teman dan orang lain. Komunikasi baik verbal atau nonverbal dengan orang lain relatif mudah. Kebanyakan mereka sangat peka terhadap teman, terhadap penderitaan orang lain, dan mudah berempati. Banyak dari mereka memberi masukan kepada teman lain agar maju. Maka banyak dari mereka berperan sebagai komunikator, sebagai fasilitator dalam pertemuan atau perbincangan masalah penting. Mereka juga dengan mudah menjadi penggerak massa karena kemampuannya mendekati massa. Bila menjadi pemimpin, orang ini biasanya disukai karena pendekatannya yang baik kepada anggotanya, mengerti dan menghargai perasaan anggotanya (Suparno, 2004).

Siswa yang memiliki inteligensi inter personal yang tinggi mudah bergaul dan berteman. Meskipun sebagai orang baru dalam suatu kelas atau sekolah, ia dengan cepat dapat masuk ke dalam kelompok. Ia mudah berkomunikasi dan mengumpulkan teman lain. Bila dilepas seorang diri, ia akan dengan cepat mencari teman. Dalam konteks belajar, ia lebih suka bekerja sama dengan orang lain, lebih suka mengadakan studi kelompok. Siswa ini kadang mudah berempati dengan teman yang sakit atau sedang punya masalah dan kadang mudah untuk ikut membantu. Dalam satu kelas, bila guru memberikan pekerjaan atau tugas secara bebas, siswa-siswa yang mempunyai inteligensi interpersonal akan dengan cepat berdiri dan mencari teman untuk mau diajak kerja sama (Suparno, 2004).

Suparno (2004) menyebutkan orang yang memiliki kecerdasan inter personal memiliki ciri-ciri:
- menyukai sosialisasi dengan teman.
- kelihatan dapat menjadi pemimpin yang alami.
- suka memberikan nasehat pada teman yang dalam kesulitan.
- termasuk dalam klub, komite, atau organisasi.
- mempunyai lebih dari dua teman dekat.
- mudah empati kepada orang lain.

Sedangkan yang memiliki kecerdasan intrapersonal memiliki ciri-ciri:
- punya kemauan yang kuat dan kepercayaan diri.
- punya rasa yang realistik tentang kemampuan dan kelemahannya.
- selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik meski tidak ditunggui.
- punya kepekaan akan arah dirinya.
- cenderung bekerja sendiri daripada dengan orang lain.
- dapat belajar dari kesuksesan dan kegagalannya.
- punya rasa percaya diri yang tinggi.
- punya daya refleksi yang tinggi.

Menurut Gardner (2003), kecerdasan antar pribadi dibangun antara lain atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, khususnya, perbedaan besar dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang mampu membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan keinginan itu disembunyikan.

Goleman (2004) mengidentifikasi manfaat dari bagian-bagian dari kecerdasan emosional sebagai berikut.

1. Kesadaran Emosional

a. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosi sendiri.
b. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul.
c. Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan.

2. Mengelola emosi
a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah.
b. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas.
c. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi.
d. Berkurangnya larangan masuk sementara atau skorsing.
e. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
f. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga.
g. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
h. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

3. Memanfaatkan emosi secara produktif (memotivasi diri)
a. Lebih bertanggung jawab.
b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian.
c. Kurang impulsif, lebih menguasai diri.
d. Nilai pada tes-tes prestasi meningkat.

4. Empati/membaca emosi
a. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
b. Memperbaiki empati dan kepekaan perasaan orang lain.
c. Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.

5. Membina hubungan
a. Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan.
b. Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan.
c. Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan.
d. Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.
e. Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat, dan terlibat dengan teman sebaya.
f. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
g. Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.
h. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
i. Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong.
j. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

Salah satu hal yang istimewa adalah memperbaiki nilai prestasi akademis dan kinerja sekolah anak. Saat anak tidak mampu menangani kemurungan mereka, mendengarkan atau memusatkan perhatian, mengendalikan dorongan hati, merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, atau menaruh perhatian pada pelajaran, maka apa saja yang yang bisa mendukung keterampilan EI ini akan membantu pendidikan mereka. Dengan kata lain, keterampilan emosional memperhebat kemampuan sekolah untuk belajar. EI membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan dan pembelajarannya.

Dengan kecerdasan emosional, manusia menjadi jauh lebih manusiawi (Goleman, 2004). Dengan kata lain, dengan memiliki kecerdasan emosional, manusia memiliki perasaan, serta memahami perasaan orang lain.

Setiap orang mengungkapkan emosinya dengan cara yang berbeda-beda. Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka. EI dimasukkan ke dalam kelompok kelas inteligensi yaitu sosial, praktek, dan kecerdasan individu (personal intelligences) (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004). Kecerdasan emosional membuat hasil positif dalam hubungan dengan diri sendiri dan individu lain. Rasa gembira, optimis dan sukses di sekolah, hidup, dan bekerja merupakan hasil positif dari kecerdasan emosional. Eniola (2007), menyebutkan bahwa penghargaan diri-sendiri, kesadaran diri, proaktif, empati, hubungan antar pribadi, menghadapi keterampilan, keadaan realita, dan fleksibel, merupakan komponen dari kecerdasan emosional/EI.

EI dipengaruhi oleh latar belakang orang bersangkutan. Menurut Tiwari & Srivastava (dalam Marquez, Martin, & Brackett, 2006) partisipan remaja yang tinggal dalam kondisi keluarga dengan kelas ekonomi menegah memiliki kecerdasan emosional dan kemampuan sosial yang lebih tinggi daripada remaja yang tinggal dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa yang sekolah di sekolah unggulan dan elit memiliki kecerdasan emosional dan kemampuan sosial yang lebih tinggi daripada siswa yang bersekolah di sekolah kumuh dengan kualitas rendahan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Chen, Lin, & Tu (2006) bahwa perbedaan latar belakang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang.

Aslan, Osata, & Mete (2008) mengungkapkan kecerdasan emosional berpengaruh terhadap grup dan tim, hal ini terjadi karena komponen kecerdasan emosional salah satu anggota grup akan mempengaruhi emosi anggota yang lain.

Menurut Berrocal & Ruiz (2008), satu hal yang sangat penting bagi setiap orang dalam memelihara hubungan yang baik dengan orang di sekitarnya adalah kecerdasan emosional. EI yang kuat membantu seseorang untuk bisa menawarkan pada keadaan sekelilingnya informasi yang cukup mengenai keadaan psikologi kita. Dalam rangka mengatur keadaan emosi dengan yang lain, hal pertama yang paling penting adalah mengatur emosi diri sendiri. Kecerdasan emosional tidak hanya keterampilan merasakan, memahami, dan mengatur emosi diri sendiri, tetapi juga kemampuan meramalkan kemungkinan kemampuan emosi orang lain. Dengan demikian, EI berperan sebagai peranan dasar dalam menetapkan, memelihara, dan memperoleh hubungan interpersonal yang berkualitas.

Kecerdasan emosional sangat berpengaruh pada karakter seseorang. EI memiliki hubungan yang spesifik dari kecerdasan yang diketahui. EI biasanya berhubungan dengan kecerdasan yang lain, namun sangat sederhana. EI semestinya berkembang sesuai dengan umur (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004). Hal senada juga diungkapkan oleh Bellamy, Gore, & Sturgis (2003), bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat ditingkatkan atau dengan kata lain dapat dikembangkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, semakin tinggi usia seseorang, maka semakin banyak pengalamannya, maka kecerdasan emosionalnya pun akan bertambah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Shapiro (2003) bahwa EI tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan.

Shapiro (2003) mengidentifikasi keberhasilan perkembangan moral yang berarti dimilikinya emosi dan perilaku yang mencerminkan kepedulian akan orang lain, saling menumbuhkan, saling mengasihi, tenggang rasa, dan kesediaan mematuhi aturan-aturan masyarakat.

Agar menjadi manusia bermoral, William Damon (dalam Shapiro, 2003) menyatakan bahwa anak-anak harus mendapatkan keterampilan emosional dan sosial sebagai berikut.

1. Mereka harus mengikuti dan memahami perbedaan antara perilaku yang baik dan yang buruk dan mengembangkan kebiasaan dalam hal perbuatan yang konsisten dengan sesuatu yang dianggap baik.

2. Mereka harus mengembangkan kepedulian, perhatian, dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain, yang diungkapkan melalui sikap peduli, dermawan, ramah, dan pemaaf.

3. Mereka harus merasakan reaksi emosi negatif seperti seperti malu, bersalah, marah, takut, dan rendah hati bila melanggar aturan moral.

Beberapa emosi negatif yang memotivasi anak untuk belajar dan mempraktekkan perilaku-perilaku prososial, termasuk:

1. takut dihukum
2. kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain
3. rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan seseorang
4. malu bila ketahuan berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang lain.

Shapiro (2003) mengatakan untuk mengembangkan empati dan kepedulian anak dapat dilakukan dengan memperketat tuntutan pada anak mengenai sikap peduli dan tanggung jawab, mengajari anak mempraktekkan perbuatan baik secara acak, dan melibatkan anak dalam kegiatan pelayanan masyarakat. Selain itu, dalam pengembangan empati dan kepedulian, hal yang harus diingat adalah:

a. waktu mengajari anak untuk bersikap peduli kepada orang lain, tidak ada yang dapat menggantikan pengalaman, tidak hanya cukup dibicarakan, anak perlu dilibatkan secara langsung.

b. walaupun bahasa dan logika pada bagian otak untuk berpikir penting dalam mengajarkan nilai-nilai kepada anak, ini tidak akan membentuk perilaku mereka seperti rasa bangga dan rasa memiliki yang menyertai saat berbuat sesuatu untuk menolong orang lain.

Sedangkan untuk mengembangkan kejujuran dan integritas, Shapiro (2003) mengidentifikasi hal-hal yang dapat dilakukan, yaitu membangun kepercayaan anak dan menghormati privasi anak. Di samping itu, hal yang perlu diingat adalah:

a. mengajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak mereka masih muda dan konsisten dengan pesan yang diberikan waktu usia mereka bertambah. Pemahaman anak mengenai kejujuran bisa berubah, tetapi pemahaman jangan berubah.

b. menjadikan kejujuran dan etika sebagai bahan perbincangan sejak anak masih sangat muda dengan memilihkan buku-buku dan video untuk dinikmati bersama anak, memainkan permainan kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak atas privasi.

Emosi negatif juga berguna untuk perkembangan anak. Shapiro (2003) mengatakan untuk mengembangkan emosi moral negatif yaitu rasa malu dan rasa bersalah dapat dilatih dengan memanfaatkan rasa malu dan memanfaatkan rasa bersalah dengan tepat. Hal yang perlu diingat adalah:

a. rasa malu dan rasa bersalah bukan aspek emosi yang harus dijauhi. Apabila digunakan dengan tepat, emosi-emosi ini penting bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral pada anak.

b. penggunaan rasa malu dan rasa bersalah secara tepat akan bergantung pada temperamen anak, tetapi penggunaan emosi ini dapat mengintegrasikan kembali anak kepada dukungan keluarga.

Jadi dapat dikatakan bahwa dengan memanfaatkan emosi negatif yang dimiliki anak untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak agar bisa dipergunakan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Dalam mengembangkan keterampilan berpikir EI, Shapiro (2003) mengidentifikasi hal-hal yang dapat dilakukan, yaitu berpikir realistis, optimisme yang digunakan sebagai obat penangkal depresi dan rendahnya prestasi, dan mengubah kelakuan anak dengan mengubah pola pikir mereka.

Dalam berpikir realistis perlu diingat beberapa aspek EI, yaitu:

a. berpikir realistis adalah lawan membohongi diri sendiri

b. kisah-kisah keteladanan bisa menjadi cara paling baik untuk mengajarkan keterampilan ini, entah dibacakan dari buku atau dikarang sendiri.

c. anak akhirnya akan berpikir secara realistis mengenai masalah atau kepentingan mereka jika berbuat serupa. Jangan menyembunyikan kebenaran dari anak walaupun menyakitkan.

Optimisme merupakan lawan dari pesimisme. Pesimisme yang meningkat akan menjadikan anak lebih rentan terhadap efek-efek buruk defresi dan masalah-masalah terkait seperti buruknya prestasi akademik, sulit berteman, bahkan menderita penyakit fisik. Dalam mengembangkan optimisme sebagai obat penangkal depresi dan rendahnya prestasi, perlu diperhatikan beberapa aspek EI, yaitu:

a. anak dapat diajari bersikap optimis sebagai salah satu cara untuk bertahan terhadap defresi dan ancaman gangguan mental serta fisik lain.

b. optimisme bersumber dari cara berpikir realistis serta dari kesempatan-kesempatan untuk menghadapi tantangan yang sesuai dengan usia, kemudian menguasai cara-cara menghadapi tantangan tersebut.

c. kita harus lebih optimistis dalam hidup kita sendiri dan dalam berhubungan dengan anak. Anak paling mudah belajar dari meniru perbuatan dan perkataan orang tuanya.

Kelakuan anak dapat diubah dengan mengubah pola pikir mereka dengan cara: mendefinisikan masalah sebagai musuh, mengubah kimia otak, membuat kerangka baru untuk suatu masalah dan menuliskannya, berbicara pada diri-sendiri, mengotomatiskan dialog positif dengan diri-sendiri, melatih daya cipta, memilih imaji yang sesuai, dan mengajari anak menggunakan daya cipta. Di samping itu, terdapat beberapa hal yang perlu diingat, yaitu:

a. anak di atas enam tahun dapat belajar bercakap dengan diri-sendiri sebagai cara untuk menambah rentang perhatian mereka dan menyempurnakan kinerja mereka, seolah-olah mereka sedang dibimbing oleh seseorang.

b. agar teknik bercakap dengan diri-sendiri bisa efektif, maka harus dikondisikan ke dalam pola pikir dan perilaku anak melalui perulangan dan pembinaan.

c. kita dapat menggunakan latihan daya cipta untuk mengajari anak bagaimana mengatasi rasa nyeri, tidak nyaman, atau stres psikologi.

d. makin dini kita mengajari anak-anak tantang cara menggunakan keterampilan-keterampilan ini, makin besar manfaat yang akan diperoleh.

e. perulangan perlu bagi anak-anak agar dapat menguasai keterampilan berpikir ini, maka usahakan agar mereka menikmati latihan-latihan agar mereka menikmati latihan-latihan tersebut dan dorong mereka dengan minat dan semangat kita sendiri.

Pengembangan kemampuan pemecahan masalah dapat dilakukan dengan cara mengajar dengan memberi teladan merupakan peran kita dalam menjadikan anak sebagai pemecah masalah, memperhatikan bahasa pemecahan masalah, dan pelatihan pemecahan masalah.

Mengajarkan anak untuk memecahkan masalah dapat dilakukan melalui rapat keluarga. Terdapat empat proses dalam pemecahan masalah melalui rapat keluarga, yaitu:

a. mengidentifikasi masalah
b. memikirkan pemecahan alternatif
c. membandingkan tiap pemecahan
d. memilih pemecahan yang terbaik

Dalam pengembangan ini, hal yang perlu diingat adalah:

a. anak-anak yang masih kecil belajar menjadi pemecah masalah melalui pengalaman. Tantang mereka untuk memecahkan masalah, alih-alih campur tangan dan memecahkan amsalah mereka.

b. mengembangkan suasana yang mendukung pemecahan masalah di rumah melalui rapat keluarga dan dengan menunjukkan kepada anak-anak bagaimana kita memecahkan masalah-masalah nyata dalam hidup yang kita hadapi.

Untuk memecahkan masalah dengan baik diperlukan juga bahasa pemecahan yang cocok. Hal yang dianjurkan adalah menggunakan bahasa dengan pasangan kata, misalnya sekarang/nanti, sama/berbeda, jika/maka, waktu yang baik/bukan waktu yang baik, mungkin/tidak mungkin, mengapa/karena, adil/tidal adil, dan sebagainya. Kita diharapkan melatihnya dengan permainan kata sederhana dan kemudian menerapkannya ke dalam situasi-situasi ketika anak mempunyai masalah yang harus dipecahkan.

Pelatihan membuat solusi bisa dilakukan dengan mendorong pemecahan masalah pada anak yang lebih besar dan remaja, mengubah cara berpikir untuk memecahkan masalah, dan memecahkan masalah sulit dengan mencari ”kekecualian”. Penelitian menunjukkan bahwa kita terlalu rendah menilai kemampuan anak-anak dalam memecahkan masalah serta menemukan bahwa kemampuan itu dapat berkembang dengan campur tangan kita. Tiap usia memerlukan penekanan yang agak berbeda dalam mengajarkan pemecahan masalah kepada anak:

1. waktu anak baru mulai bersekolah, mereka dapat mulai belajar cara membuat bermacam-macam solusi untuk suatu masalah atau soal.

2. waktu anak berusia delapan atau sembilan tahun, mereka mempunyai kemampuan menimbang kelebihan dan kekurangan pada setiap alternatif dan memilih solusi yang paling baik.

3. memusatkan perhatian kepada solusi, alih-alih kepada masalah, akan jauh lebih memudahkan anak belajar mengatasi kendala.

4. anak yang lebih besar dan remaja memerlukan hubungan yang mendukung dengan kita untuk membantu mereka melewati peralihan menuju pemecahan masalah-masalah yang lebih kompleks. Kita diharapkan seperti sistem pendukung dalam pembangunan gedung, yakni menyediakan kerangka kerja agar anak-anak dapat memecahkan masalah, tetapi kita tidak campur tangan terlalu banyak.

Keterampilan sosial merupakan salah satu bagian kecerdasan emosional/EI, oleh karenanya keterampilan ini perlu dikembangkan. Pengembangan keterampilan sosial dapat dilakukan dengan keterampilan bercakap-cakap lebih dari sekadar berbicara, menikmati pentingnya humor, menjalin persahabatan, memperhatikan fungsi kita dalam suatu kelompok, dan pentingnya adanya tata krama.

Keterampilan bercakap-cakap yang lebih dari sekadar berbicara perlu memperhatikan keterampilan sosial yang diajarkan, keterampilan bercakap-cakap membantu anak masuk ke dalam pergaulan baik dengan seseorang maupun kelompok, dan keterampilan bercakap-cakap meliputi berbagi informasi pribadi, mengajukan pertanyaan kepada orang lain, mengekspresikan minat, dan mengekpresikan penerimaan.

Keterampilan humor sangat penting dimiliki karena humor dapat digunakan sebagai cara untuk meringankan sakit hati dan kesusahan/stres. Di samping itu, dapat digunakan sebagai cara untuk mengajarkan nilai-nilai dan toleransi. Dalam hal ini perlu diperhatikan:

1. humor termasuk salah satu keterampilan sosial yang penting

2. humor termasuk bakat yang patut disyukuri bila kita memilikinya

3. walaupun anak-anak mempunyai kemampuan bawaan yang berbeda-beda dalam menyajikan lelucon atau melawak, setidaknya setiap anak terlahir dengan selera humor

4. humor mempunyai tujuan-tujuan yang berbeda pada usia yang berbeda, namun sepanjang perjalanan hidupnya, dapat membantu dalam berhubungan dengan orang lain dan dalam mengatasi masalah.

Zick Rubin dalam bukunya Children’s Friendship (dalam Shapiro, 2003) menerangkan bagaimana anak-anak melewati empat tahap yang saling tumpang tindih waktu mereka mempelajari seni dan keterampilan berteman, yang dibagi menjadi: tahap egosentris, tahap pemenuhan kebutuhan, tahap balas jasa, dan tahap akrab. Zick Rubin juga menjelaskan bahwa kriteria yang paling penting dalam persahabatan adalah berbagi informasi. Hal-hal yang perlu diingat dalam pengembangan keterampilan ini adalah:

1. mempunyai teman paling akrab adalah fase pertumbuhan penting yang dapat mempengaruhi cara anak menjalin hubungan saat mereka remaja atau dewasa

2. meskipun tidak dapat memaksa anak bergaul dengan anak-anak lain, kita dapat mencontohkan bagaimana teman-taman dapat memainkan peran penting dalam hidup kita.

3. memastikan anak kita memperoleh kesempatan-kesempatan yang sesuai dengan usia mendapatkan keterampuilan mencari teman.

Setelah anak belajar mendapatkan teman sendiri, kemampuan untuk bergabung dan berperan serta dalam kelompok sebaya merupakan pilar kedua yang dibutuhkan untuk membangun hubungan sosial yang baik. Hal yang dapat kita lakukan untuk membimbing anak dalam keterampilan ini adalah bertindak sebagai teladan bagi anak dengan berpartisipasi dalam kelompok anda sendiri, mendorong anak mencoba peran lain dalam kelompok keluarga, mendorong anak bergabung dalam kelompok khusus yang terdiri dari anak-anak yang mirip mereka, dan mencarikan kelompok pelatihan keterampilan sosial formal bagi anak dengan masalah sosial ekstrem. Hal-hal yang perlu diingat dalam keterampilan mendapatkan teman adalah diterima bergaul dalam kelompok teman sebaya adalah tahap perkembangan penting yang dapat mempengaruhi hubungan sosial anak sesudah remaja dan dewasa, meskipun tidak bisa memaksa anak bermain dengan anak-anak lain, kita dapat meneladankan pentingnya kelompok dalam hidup yang kita alami, dan pastikan anak mendapatkan kesempatan mempelajari keterampilan sosial dalam kelompok-kelompok sebaya yang sesuai dengan usia dan minat anak kita.

Tata krama yang ada berperan dalam membatasi dan mengatur perilaku anak. Dalam pergaulan anak, kita bisa mengajarkan mereka menjadi lebih sopan kepada orang lain dan orang tua. Sopan santun merupakan salah satu keterampilan EI yang paling mudah diajarkan namun pengaruhnya sangat besar pada keberhasilan mereka dalam pergaulan di kemudian hari. Peradaban yang semakin menurun/degradasi dalam masyarakat dinilai dari perlakuan mereka terhadap orang lain. Hanya kita yang bisa mengubah mereka menjadi anak-anak yang bersopan santun.

Kemampuan untuk memberikan perhatian kepada emosi, memikirkan pengalaman dengan jelas dan bisa menutupi keadaan pikiran negatif dapat menentukan pengaruh kesehatan mental siswa dan keseimbangan psikologi dalam hubungan yang akhirnya mempengaruhi penampilan akademik siswa. Seseorang dengan kemampuan emosional terbatas seperti pengalaman stres dan kesulitan emosional selama studi mereka, memiliki konsekuensi akan lebih memberikan keuntungan dari penggunaan kemampuan adaptasi emosionalnya yang natinya bisa menutupi/memperbaiki kesulitannya (Berrocal & Ruiz, 2008).

Terdapat lima langkah melatih emosi, yang dalam hal ini Gottman (2003) memfokuskan pelatihan emosi anak oleh orang tua. Langkah-langkah ini lazimnya digunakan orang tua untuk memupuk empati dalam membina hubungan dengan anak-anak mereka sambil meningkatkan kecerdasan emosional/EI yang dimiliki anak. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. menyadari emosi anak
2. mengenali emosi sebagai peluang untuk menjadi akrab dan untuk mengajar
3. mendengarkan dengan empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak
4. menolong anak untuk memberi label emosi-emosi dengan kata-kata
5. menentukan batas-batas sambil menolong anak memecahkan masalahnya.

Pemberian latihan emosi harus memperhatikan waktu-waktu tertentu. Gottman (2003) mengatakan pelatihan emosi tidak tepat dilakukan jika:

1. kita kekurangan waktu
2. ada pendengar yang lain
3. kita tertalu marah atau terlalu lelah sehingga latihan itu tidak akan berguna
4. kita harus menangani kenakalan berat
5. anak berpura-pura mengalami emosi untuk menipu kita

Klik "Show" Untuk Melihat referensi
Aslan, S., Osata, M., & Mete, M. 2008. The investigation of group emotional intelligence on team effectiveness. Humanity & Social Sciences Journal .3(2).104-115. Diakses tanggal 30 Oktober 2008.

Bellamy, A., Gore, D., & Sturgis, J. 2003. Examining the relevance of emotional intelligence within educational program for the gifted and talented. Electronic Journal of Research in Educational Psychology.6(2).53-78.

Berrocal, P.F., & Ruiz, D. 2008. Emotional intelligence in education. Electronic Journal of Research in Educational Psychology. 6 (15). 421-436.

. Brackett, M.A., & Mayer, J.D. 2003. Convergent, discriminant, and incremental validity of competing measures of emotional intelligence. PSPB. 29(10).1-12.

Bradberry, T. R., & Su, L. D. 2006. Ability-versus skill-based assessment of emotional intelligence. Journal Psicothema 2006. 18 supl., pp. 59-66.

Gardner, H. 2003. Kecerdasan majemuk. Teori dalam praktek. (terjemahan). Batam: Interaksara

Goleman, D. 2001. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi: Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Goleman, D. 2004. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gottman, J., & DeClaire, J. 2003. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional. (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Marquez, P. G. O., Martin, R. P., & Brackett, M. A. 2006. Relating emotional intelligence to social and academic achievement in high school students. Psicothema 2006 18. supl., pp. 118-119. Diakses tanggal 30 Oktober 2008.

Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. R. 2004. Emotional intelligence: Teori, finding, and implications. Journal of Psyicology Inquiry 15(3). 197-217. Tersedia pada: http://www.unh.edu/emotional_intelligence/EI%20Assets/ Claims/EI1999MayerAPA.pdf.

Melandy, R., Widiastuti, F., & Aziza N. 2007. Sinkronisasi komponen kecerdasan emosional dan pengaruhnya terhadap tingkat pemahaman akuntansi dalam sistem pendidikan tinggi akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi X.

Petrides, K. V., & Furnham, A. 2006. The role of trait emotional intelligence in a gender-specific model of organizational variables. Journal of Applied Social Psycology. 36(2). 552-569.

Sevdalis, N., Petrides, K. V., & Harvey, N. 2007. Trait emotional intelligence and decision related emotions. Journal Personality and Individual Differences. 42. 1347-1358.

Shapiro, L. E. 2003. Mengajarkan emotional intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sudhita, W. R. 2006. Perilaku bunuh diri di kalangan pelajar (studi kasus: pemberitaan Harian Bali Post). Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha.

Suparno, P. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius

Wahyuningsih, A. S. 2004. Hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU Lab School Jakarta Timur. Skripsi. Jakarta. (tidak diterbitkan).
Emotional Intelligence (EI) Emotional Intelligence (EI) Reviewed by Sastra Project on April 17, 2013 Rating: 5

1 comment:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.