Intelligence Quotient (IQ)

Azwar (1996) mengatakan masyarakat umum mengenal inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Inteligensi merupakan kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan para ahli umumnya menerima pengertian akan inteligensi sebagaimana yang diungkapkan oleh orang awam. Kekuatan intelektual (memory jangka panjang, kemampuan berpikir abstrak) dan kemampuan non intelektual (motivasi, disiplin diri) berkontribusi terhadap kemampuan akademik siswa (Duckworth & Seligman, 2005). Menurut Crider (dalam Azwar, 1996), inteligensi itu bagaikan listrik, gampang untuk diukur, tapi hampir mustahil untuk didefinisikan.

Binet dan Simon (dalam Azwar, 1996), mendefinisikan inteligensi yang terdiri dari tiga komponen, yaitu (a) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan (c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.

Suryabrata (1986) menggolongkan konsep inteligensi menjadi lima kelompok, yaitu 1) konsepsi yang bersifat spekulatif-filsafati, 2) konsepsi yang bersifat pragmatis, 3) konsepsi faktor, 4) konsepsi yang bersifat operasional, dan 5) konsepsi yang bersifat fungsional.

Menurut Super dan Crites (dalam Adiputra, 2006) inteligensi merupakan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman. Manusia hidup dan berinteraksi dalam lingkungan yang kompleks. Untuk itu diperlukan kemampuan beradaptasi agar mampu bersaing dan mempertahankan diri dari lingkungannya. Hidup bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan tetapi juga untuk perkembangan pribadinya, oleh karena itu, manusia harus belajar dari pengalaman.

Cattell (dalam Azwar, 1996) mengklasifikasikan kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu inteligensi fluid (gf) yang merupakan faktor bawaan biologis, dan inteligensi crystallized (gc) yang merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan dalam diri seseorang.

Inteligensi crystallized dapat dipandang sebagai endapan pengalaman yang terjadi sewaktu inteligensi fluid bercampur dengan apa yang dapat disebut inteligensi budaya. Inteligensi crystallized meningkat kadarnya seiring dengan bertambahnya pengalaman seseorang. Tugas-tugas kognitif di mana keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan telah mengkristal akibat dari pengalaman sebelumnya, seperti kekayaan kosa kata, pengetahuan, kebiasaan penalaran, dan sejenisnya yang akan meningkatkan kemampuan inteligensi crystallized.

Pada sisi lain, inteligensi fluid lebih merupakan kemampuan bawaan yang diperoleh sejak kelahiran dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman. Inteligensi fluid dapat dipandang sebagai faktor yang tak terbentuk, statis, yang mengalir ke berbagai variasi kemampuan intelektual. Inteligensi ini mempunyai arti sangat penting untuk keberhasilan melakukan tugas-tugas yang menuntut kemampuan adaptasi atau penyesuaian pada situasi-situasi baru, di mana inteligensi crystallized tidak begitu berperan.

Inteligensi fluid cenderung tidak berubah setelah usia 14 tahun atau 15 tahun sedangkan inteligensi crystallized masih dapat terus berkembang sampai 30-40 tahunan, bahkan lebih. Hal ini dapat dimaklumi karena perkembangan inteligensi crystallized memang banyak bergantung pada bertambahnya pengalaman dan pengetahuan sehingga peningkatan usia yang berarti peningkatan pengalaman akan terus berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi crystallized.

Meskipun berbeda, namun inteligensi fluid dan inteligensi crystallized dapat tampak serupa. Pada umumnya kemampuan fluid dan kemampuan crystallized menunjukkan korelasi yang tinggi satu sama lain (Azwar, 1996).

Dalam Gould 1981 & Davinof 1976 disebutkan bahwa istilah intelligence quotient pertama kali dikenalkan oleh William Stern pada tahun 1912 yang kemudian disempurnakan oleh Lewis Madison dengan menerbitkan tes Binet yang mulai digunakan pada tahun 1916. Tes inteligensi Binet ini membandingkan skor tes yang diperoleh seorang anak dengan usia anak tersebut. Pada waktu itu penghitungan IQ dilakukan dengan memakai rumusan:

IQ = MA/CA x 100

dengan MA = mental age (usia mental), CA = chronological age (usia kronologis). Dari perumusan ini, terlihat bahwa semakin tinggi usia seseorang maka IQ juga akan bertambah. Namun kenyataannya tidaklah demikian adanya. Bahkan disebutkan pada usia remaja akhir usia mental seseorang tidak lagi banyak berubah bahkan menurun (Azwar, 1996). Secara umum, IQ seimbang/normal bernilai 100, karena MA dan CA bernilai sama. Skor di antara skor seimbang/normal ini paling banyak dimiliki oleh masyarakat.

Pertumbuhan kemampuan mental yang maksimal tidak terjadi segera di awal usia kehidupan akan tetapi berkembang sampai usia menjelang dua puluhan. Kemudian perkembangan itu akan semakin lambat dan selanjutnya tidak lagi memperlihatkan pertambahan yang berarti, kemudian mencapai puncaknya untuk akhirnya mengalami penurunan kembali, hal ini terjadi karena komponen mental yang banyak tergantung pada faktor pengalaman dan pendidikan. Adanya perbedaan angka IQ yang diperoleh dari tes inteligensi yang dijalani pada waktu berbeda tidak selalu menjadi bukti adanya perubahan IQ bila perbedaan yang terjadi itu tidak cukup besar dan hanya meliputi kasus-kasus tertentu saja. Terlihat bahwa sampai batas-batas tertentu, kemampuan mental manusia berkembang sejalan dengan pertambahan usia dan pengalaman yang berarti bertambahnya informasi yang dicerna dan dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Sedangkan IQ sebagai indikator tinggi rendahnya kemampuan mental dalam masing-masing kelompok menunjukkan perubahan yang relatif tidak berarti dan dapat dianggap stabil (Azwar, 1996).

Menurut Iskandar (2004), dalam meningkatkan skor IQ, orang cenderung mendapatkan nilai yang baik pada tes apapun apabila mereka mengetahui dan memahami jenis materi yang digunakan. Oleh karena itu, para tester IQ dahulu cenderung untuk merahasiakan bentuk dan materi yang akan diuji supaya orang yang diuji ‘naive’ terhadap soal itu. Peningkatan IQ biasanya muncul dalam 3–5 kali tes sebelum mengikuti tes IQ yang sebenarnya. Pada salah satu penelitian pemeriksaan tes IQ di Afrika Selatan bahwa dengan latihan adalah mungkin menaikkan nilai dari para calon dengan rata-rata 7,5 – 14,5 point. Alasan potensial mengapa ini terjadi adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan tes diharapkan menguji cara berpikir daripada menguji pengetahuan yang didapat. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun sudah dilatih, namun skor IQ hanya mengalami peningkatan sedikit saja dan hampir merupakan konstan.

Prestasi disiplin lebih berpengaruh daripada bakat, dalam penampilan akademik, yang akan diperlemah jika seseorang lebih memperhatikan pada skor tes kemampuan standar daripada kartu laporan nilai (Duckworth & Seligman, 2005).

Hubungan antara IQ dan penampilan/kemampuan akademik menyatakan bahwa kebanyakan kemampuan IQ yang dimiliki berada pada keadaan rata-rata. Anak yang memiliki IQ di atas rata-rata (superior) dan di bawah rata-rata jauh lebih sedikit, sehingga kurva yang ditunjukkan adalah seperti lonceng atau kurva normal (Azwar, 1996).

Arnold (dalam Goleman, 2004), melakukan penelitian terhadap 81 juara kelas dan juara kedua angkatan tahun 1981 di sekolah-sekolah menengah di Illinois. Sepuluh tahun setelah lulus sekolah menengah, hanya satu di antara empat yang meraih tingkat paling tinggi di antara orang-orang yang pernah diteliti. Menurut Beliau, predikat juara itu tidak memberi gambaran apapun tentang bagaimana mereka bereaksi terhadap kesulitan-kesulitan hidup.

Efek latihan adalah meningkatkan cara berpikir. Masyarakat yang belum pernah melihat tes tersebut akan rugi tetapi kenyataannya bahwa kita bisa langsung akrab dengan tes tersebut. Malahan kini para penguji yang serius akan memberikan contoh dan latihan bahan tes yang akan diuji kepada para calonnya sebelum tes sebenarnya diberikan (Iskandar, 2004). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan dasar yang bersifat umum yang dimiliki seseorang untuk melakukan aktivitas guna meraih kecakapan dan keterampilan. Inteligensi dikatakan sebagai kemampuan untuk mengadakan adaptasi dengan tujuan yang akan dicapai pada setiap kegiatan, sehingga dapat dikatakan bahwa inteligensi berguna untuk memecahkan masalah. Kemampuan untuk mengadakan kritik diri berarti akan melibatkan kemampuan seseorang dalam mengadakan introspeksi. Inteligensi merupakan kemampuan seorang siswa untuk mengadakan penyesuaian dan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi untuk meraih kecakapan dan keterampilan.

Klik "Show" Untuk Melihat referensi
Adiputra, I M. S. 2006. Hubungan antara inteligensi, kecerdasan emosi, dan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kreativitas guru sekolah dasar di kota Tabanan. Tesis. Program pasca sarjana IKIP N Singaraja. (tidak diterbitkan).

Azwar, S. 1996. Pengantar psikologi inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Duckworth, A. L., & Seligman, M. E. P. 2005. Self- discipline outdoes IQ in predicting academic performance of adolescents. Psychological Science. 16 (12). 939-944. tersedia pada: http://www.sas.upenn.edu/~duckwort/-images/PsychologicalScienceDec2005.pdf .

Goleman, D. 2001. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi: Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Goleman, D. 2004. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Iskandar, Y. 2004. Tingkatkan IQ anda. Cetakan perdana. Jakarta Selatan: Yayasan Dharma Graha.

Suryabrata, S. 2000. Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: Andi offset
Intelligence Quotient (IQ) Intelligence Quotient (IQ) Reviewed by Sastra Project on April 17, 2013 Rating: 5

No comments:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.