Awal Mula Fisika Modern (Part I)

Tentunya ada beberapa orang yang masih bertanya-tanya tentang asal muasal dari fisika modern. Sebenarnya keberadaan fisika modern tersebut berawal dari ketidakmampuan dari teori fisika klasik untuk menjelaskan tentang fenomena-fenomena fisika modern. Seperti yang kita ketahui bahwa yang menjadi cikal bakal dari fisika modern adalah :
# Teori Relativitas Khusus dari Einstein
# Teori Kuantum dari Max Planck
 
A. TEORI RELATIVITAS KHUSUS

Ada dua alasan mengapa teori ini dibahas. Pertama, Albert Einstein (1879 - 1955) membuat penafsiran yang sama sekali baru, yang menandai berakhirnya kejayaan fisika klasik. Einstein (diucapkan: ainsytain) mengubah secara revolusioner cara memandang atau menafsirkan hasil observasi Albert Abraham Michelson (1852 - 1931). Alasan yang kedua, ialah mencoba memperkenalkan kepada para pembaca yang kebetulan kurang begitu senang pada persamaan-persamaan dan rumus-rumus, karena tidak mempunyai latar belakang penguasaan matematika, utamanya kalkulus tensor.
Dalam tahun 1687 Sir Isaac Newton (1642 - 1727) memformulasikan sebuah teori yang dikenal dengan Prinsip Relativitas Newton, yang demikian bunyinya: Gerak benda-benda dalam suatu sistem akan sama keadaannya, apakah sistem itu dalam keadaan diam, ataupun dalam keadaan bergerak lurus beraturan. Newton menyertai teorinya ini dengan keyakinan tentang adanya sebuah sistem yang diam secara mutlak, jauh di dalam pusat alam yang menjadi titik pusat alam semesta. Mengapa Newton harus yakin dan menganggap perlu benar tentang adanya pusat alam semesta yang diam secara mutlak itu, ialah untuk dijadikan koordinat mutlak yang menjadi landasan bagi setiap benda yang bergerak.

Sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang masalah sistem koordinat mutlak dalam mekanika klasik itu, pada pihak lain di bidang fisika klasik terjadi pula proses pemikiran mengenai penafsiran cahaya. Dalam tahun 1690 Christian Huygens (1629 - 1695) mengemukakan sebuah teori bahwa cahaya itu suatu sistem gelombang. Gelombang itu pada hakekatnya adalah getaran yang menjalar. Jadi harus ada zat yang bergetar, padahal ruang semesta itu vakum. Lahirlah hipotesa Aether, zat halus yang mengisi penuh alam semesta yang menjadi medium tempat gelombang cahaya itu dapat menjalar.

Kemudian timbullah pemikiran untuk menjadikan Aether itu sistem koordinat mutlak yang dicari-cari Newton itu. Dalam tahun 1881 Albert Abraham Michelson (1852 - 1931) melakukan percobaan dengan alat interferemeter. Ia ingin mengetahui berapa kecepatan bumi terhadap sistem koordinat mutlak Aether itu. Percobaan itu diulangi lagi bersama-sama dengan Morley dalam tahun 1887, sehigga percobaan itu lebih dikenal dengan percobaan Michelson-Morley. Hasil percobaan Michelson-Morley menunjukkan bahwa kecepatan bumi terhadap Aether adalah nol, Jadi bumi sama sekali tidak bergerak terhadap Aether yang diam secara mutlak itu. Para pakar terperanjat, kecewa, bahkan ada yang demikian bingungnya sehingga ingin memutar kembali jarum jam ke tiga abad yang silam, kembali ke faham geosentris, bumi sebagai pusat alam. Ilmu fisika menjelang akhir abad ke 19 menemui jalan buntu.

Walaupun Einstein tidak pernah (atau mungkin sudah pernah?) membaca S. Yasin 40 Kullun fiy Falakin Yasbahuwna, tiap-tiap sesuatu berenang dalam jalurnya, Einstein bertolak dari pandangan tidak ada sistem koordinat yang diam secara mutlak. Semua benda bergerak relatif antara satu dengan yang lain. Kemudian Einstein menunjuk kepada fenomena alam yang didapatkan oleh FitzGerald. Apabila kita memegang sebuah batang apa saja di bumi ini dan batang itu letaknya melintang terhadap gerak bumi, lalu tiba-tiba kita mengubah letak batang tersebut membujur jadi searah dengan gerak bumi, maka batang itu akan mengalami perpendekan. Gejala ini disebut kontraksi FitzGerald. Atas dasar penemuan Fitzgerald, Hendrik Anton Lorentz (1853 - 1928) dengan dibantu oleh Larmor, dalam tahun 1900 membuat kalkulasi matematis yang disebut dengan transformasi_Lorentz.

Eintein membuat penafsiran atas hasil percobaan interferemeter Michelson-Morley sebagai berikut:
Kecepatan cahaya invarian, tidak terpengaruh oleh gerak pengamat dan benda yang diamati,
Interval waktu dan interval ruang relatif tergantung dari keadaan gerak pengamat dan benda yang diamati. (Invarian maksudnya laju cahaya itu tetap terhadap sistem apa saja. Jadi kecepatan cahaya terhadap bumi, atau terhadap bulan, atau terhadap matahari tetap 299,792 km/detik). Relatifnya waktu ada dua jenis. Pertama, yang berhubungan dengan yang dapat disentuh oleh jisim (tubuh kasar) manusia melalui hasil pengukuran instrumen. Dalam hal ini waktu itu relatif tergantung dari keadaan gerak pengamat dan substansi yang diamati. Kedua, yang berhubungan dengan perasaan dalam jiwa (tubuh halus) manusia. Waktu relatif tergantung dari keadaan jiwa, jika dalam keadaan senang, rasanya sebentar, namun kalau menunggu sesuatu, rasanya lama.

Einstein memperkembang pernyataan (2) di atas, yang disimpulkan dari hasil transformasi Lorentz, bahwa massa bendapun sama keadaanya dengan waktu dan ruang yaitu relatif tergantung pada keadaan gerak benda. Hasil akhir Teori Relativitas Khusus menunjukkan adanya hubungan antara energi dan massa. Tenaga kinetis tidak lagi dinyatakan dalam pernyataan yang umum dikenal dalam mekanika klasik, E = ½ mv^2, melainkan dalam bentuk deret:

E=mc^2+½mv^2+(3/8)m(v^4/c^2)+.......

Jika v sangat kecil dibandingkan dengan c, maka suku yang ketiga dan seterusnya dapat diabaikan, dan yang tinggal adalah suku pertama dan kedua. Suku yang kedua kita telah kenal betul dalam mekanika klasik seperti yang telah dituliskan rumusnya di atas, E = ½ mv2, sedangkan suku yang pertama baru kita kenal. Pernyataan mc2 tidak tergantung dari kecepatan benda, sebab itu disebut energi diam (rest energy). Dengan memperhatikan transformasi Lorentz, akan diperoleh hasil, jika energi kinetis suatu sistem berkurang, energi diamnya akan bertambah, dan dengan demikian beberapa dari massa diam dari sistem itu harus bertambah. Kesimpulannya ialah terdapat kesetaraan antara energi dengan massa:
 

 




Persamaan ini menyiratkan adanya kaitan antara massa sebuah benda dan energinya, dimana dapat dikatakan bahwa massa dapat diubah menjadi energi.

Pada mulanya, kesetaraan massa dan energi belum menjadi prinsip penting. Sampai disadari bahwa terdapat hubungan antara gaya ikat inti dan defek massa di dalam inti atom. Jika prinsip kesetaraan massa dan energi ini diterapkan pada inti atom, bisa dikatakan bahwa massa yang hilang (defek massa) telah diubah menjadi energi untuk mengikat nukleon-nukleon di dalam inti atom. Jadi, defek massa bersesuaian dengan energi ikat inti.

Demikian halnya dengan reaksi nuklir, teramati berkurangnya sejumlah massa dalam reaksi nuklir dimana sebuah inti atom dapat diubah menjadi inti atom lain disertai dengan pelepasan energi yang sangat besar. Energi yang sangat besar yang dihasilkan dari reaksi nuklir berasal dari perubahan sejumlah massa inti yang bereaksi.

Inilah hasil akhir yang penting dari Teori Relativitas Khusus. Pernyataan kesetaraan antara energi dan massa di atas itu baru dapat dibuktikan kebenarannya setelah Otto Hahn (1879 - ? ) bersama-sama dengan Lise Meitner (1878 - ? ) dalam tahun 1939 berhasil memecahkan inti atom dalam laboratorium Institut Kaisar Wilhelm di Berlin. Dengan diungkapkannya proses transformasi nuklir hasil gempuran unsur-unsur oleh partikel-partikel alpha, proton, deuteron dan sinar gamma, pernyataan kesetaraan antara energi dengan massa dari Einstein itu telah terbukti secara ujicoba dengan kadar ketelitian yang tinggi.

Beberapa hal penting yang mendukung, sebelum teori relativitas khusus ini diperkenalkan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tranformasi Galilean

• Dalam mekanika Newton ada suatu kerangka khusus yang disebut kerangka inersial dimana Hukum Newton mempunyai bentuk yang sama dalam kerangka tersebut.

• < 1900 mekanika Newton merupakan teori yang cukup sukses dalam menjelaskan permasalahan dinamika partikel/benda saat itu.

• Kerangka inersial ini adalah kerangka yang memenuhi Hukum I Newton yaitu sebuah kerangka diam atau bergerak dengan kecepatan konstan relatif terhadap yang lain.

B. Teori Elektromagnetik Maxwell

· Dari sini disimpulkan bahwa gelombang elektromagnetik dapat merambat tanpa medium.

· Menjelang akhir abad 19 fenomena listrik dan magnet berhasil dirangkum dalam empat buah persamaan matematis oleh Maxwell, yang disebut persamaan Maxwell untuk elektromagnetik.

· Dari persamaan Maxwell tanpa sumber (vakum) ini diperoleh sebuah konstanta universal yang disebut laju cahaya dalam vakum yaitu c.

· Teori elektromagnetik ini juga cukup sukses menjelas fenomena gelombang radio dan optik ditangan Hertz dan Young.

PERMASALAHAN >
Walaupun kedua teori ini, yaitu mekanika Newton dan teori Maxwell membahas fenomena fisika yang berbeda, tetapi ada satu permasalahan penting yang muncul, yaitu persamaan Maxwell bentuknya tidak sama terhadap transformasi Galilean. Akibatnya adalah bahwa teori elektromagnetik sifatnya berbeda dan bergantung kepada gerak pengamat. Selain itu laju cahaya tidaklah konstan dan bergantung kepada gerak pengamat. Terlebih lagi perambatan cahaya yang digambarkan sebagai gelombang elektromagnet melanggar konsep klasik bahwa harus ada medium perambatan gelombang. Oleh karenanya para fisikawan waktu itu mengusulkan sebuah medium yang disebut eter yang bergerak dengan kecepatan konstan relatif terhadap bumi.

To be Continued
Awal Mula Fisika Modern (Part I) Awal Mula Fisika Modern (Part I) Reviewed by Sastra Project on July 26, 2013 Rating: 5

3 comments:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.