Model Pembelajaran Brain-Based Learning (BBL)

Salah satu model pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme adalah BBL. BBL bermula dari penelitian neurophysiology tentang bagaimana otak bekerja (Davis, 2004). BBL mengemukakan pendidikan yang menggunakan sistem pembelajaran yang mengutamakan kemajuan otak. BBL adalah model pengajaran yang mempertimbangkan bagaimana otak bekerja saat mengambil, mengolah, dan menginterpretasikan informasi yang telah diserap, serta bagaimana otak bekerja dalam mempertahankan pesan atau informasi yang didapat.

BBL mewajibkan guru memahami tentang bagaimana otak bekerja sehingga guru dapat mendesain pembelajaran yang dapat memaksimalkan penggunaan otak siswa saat belajar (Duman, 2006). BBL merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang menggunakan semua bagian otak dan mengakui bahwa tidak semua siswa belajar dengan cara yang sama. BBL juga merupakan pembelajaran aktif yang membebaskan siswa membangun pengetahuannya sendiri terhadap situasi pembelajaran yang beragam dan kontekstual.

Potensi hebat yang ada dalam pengaplikasian penemuan dalam penelitian pengembangan otak adalah untuk implementasi dalam pembelajaran. Schiller & Willis (2008) mengemukakan 3 (tiga) penemuan penelitian yang dapat digunakan dengan standar pembelajaran agar pembelajaran menjadi lebih optimal. Pertama, pengalaman yang berdampak pada struktur otak. Kapasitas otak disediakan tak terbatas sejak manusia lahir, namun hubungan antar neuron tercipta melalui proses belajar. Kedua, sebuah proses dapat diprediksi membantu otak dalam menyalurkan rangsangan ke dalam memori jangka panjang. Ketika guru menyampaikan informasi dalam rangkaian yang mendukung proses belajar, proses tersebut akan membantu siswa untuk belajar. Untuk membantu siswa terfokus pada proses belajar, pembelajaran dapat dimulai dengan memberikan pertanyaan yang relevan atau menunjukkan gambar-gambar yang mendukung. Ketiga, pengaruh lingkungan, seperti rasa aman, emosi, kegembiraan baru, humor, musik, pilihan, gerak badan, dan hands on activity memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesiapan siswa dalam belajar dan meningkatkan ingatan siswa.

Otak sebagai himpunan kesatuan yang terdiri dari lima sistem pembelajaran utama, yaitu emosional, sosial, kognitif, fisik, dan reflektif. Kelima sistem pembelajaran tersebut sangat berkaitan dengan kebutuhan psikologis dasar pikiran untuk menjadi sesuatu (to be), untuk menjadi bagian (to belong), untuk mengetahui (to know), untuk melakukan (to do), serta untuk menguji-coba dan eksplorasi (to experiment dan explore) (Given, 2007).

Pengembangan rencana pelajaran diawali dengan menentukan apa yang perlu diketahui atau apa yang bisa diketahui oleh siswa (sistem kognitif). Dinas Pendidikan kerap membuat keputusan ini yang kemudian dituangkan dalam standar pembelajaran lokal atau nasional dengan menetapkan pengetahuan dan kecakapan mana yang diinginkan (Given, 2007).

Dengan kata lain, standar tadi digunakan untuk mengevaluasi pengetahuan dan kecakapan. Given (2007) mengemukakan langkah yang perlu diambil selanjutnya yaitu melakukan curah gagasan tentang berbagai cara untuk melakukan hal berikut.
Menyelaraskan dengan tujuan pribadi siswa dan membuat pelajaran relevan bagi siswa (sistem pembelajaran emosional)
Memberi peluang untuk memperoleh pengalaman nyata sendiri, dengan teman, dalam kelompok kecil, melalui kerjasama guru/siswa, yang mendukung pengakuan atas perbedaan dan menciptakan perasaan menjadi bagian dari kelompok (sistem pembelajaran sosial)
Memfasilitasi pencarian pengetahuan dan pengembangan kecakapan melalui tantangan pemecahan masalah nyata (sistem pembelajaran kognitif)

Menciptakan keterlibatan aktif melalui proyek-proyek yang bermakna (sistem pembelajaran fisik)
Mengajarkan pada siswa untuk menganalisis kemajuan mereka, memikirkan berbagai cara untuk meningkatkan kemajuan itu dan mengembangkan rencana untuk perkembangan yang berkesinambungan (sistem pembelajaran reflektif)

Keistimewaan BBL adalah bahwa BBL tidak hanya menggunakan otak untuk belajar tetapi mempelajari bagaimana otak bekerja sehingga kita mampu memaksimalkan kerja otak untuk belajar, dan kita mampu meningkatkan kualitas pembelajaran pada level maksimumnya (Duman, 2006). BBL memfokuskan tentang bagaimana otak belajar dan bekerja serta bagaimana mengkondisikan siswa agar siap untuk belajar. Guru juga harus menyiapkan lingkungan belajar dengan kadar ancaman yang rendah dan lebih banyak dukungan serta siswa harus dapat berpartisipasi aktif dan menanamkan pengalaman sebanyak-banyaknya.

Peran utama pendidik adalah memahami riset otak secukupnya untuk membantu siswa berkembang menjadi ”diri” mereka yang terbaik. Sebagai pendidik, kita bisa mengandalkan kelima sistem pembelajaran neurobiologis untuk menyusun kerangka pendidikan dengan baik, sehingga perencanaan pembelajaran dan penerapannya terasa menyenangkan (Given, 2007).

BBL menawarkan sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran dengan berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak siswa. Ada tiga langkah dalam pembelajaran sains dengan implementasi BBL, yaitu 1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa (orchestrated immersion); 2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan (relaxed allertness); 3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa (active processing).

Fase orchestrated immersion difokuskan untuk membuat pokok bahasan dalam pembelajaran menjadi lebih bermakna dan bertahan dalam ingatan siswa. Fase ini membantu siswa membuat pola dan berasosiasi dengan otak mereka masing-masing saat mereka diberikan permasalahan yang kaya pengalaman belajar, sehingga pembelajaran yang didapat akan lebih bertahan dalam memori siswa (Ozden & Gultekin, 2008). Dalam setiap kegiatan pembelajaran perlu dilakukan pemberian soal-soal materi pelajaran yang memfasilitasi kemampuan berpikir siswa. Soal-soal pelajaran dikemas seatraktif dan semenarik mungkin, misalnya melalui teka-teki, simulasi games, dan sebagainya agar siswa dapat terbiasa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam konteks pemberdayaan potensi otak siswa (Sapa’at, 2007).

Untuk fase relaxed alertness, siswa ditantang untuk memecahkan suatu permasalahan dengan baik tetapi meminimalisasi ancaman yang didapat jika ia tidak dapat melakukan yang terbaik, karena hasil belajar menjadi lebih tinggi ketika seseorang dalam keadaan nyaman tanpa ancaman (Ozden & Gultekin, 2008). Pembelajaran dapat divariasikan dengan membawa siswa belajar di luar kelas pada saat-saat tertentu, mengiringi kegiatan pembelajaran dengan musik yang didesain secara tepat sesuai kebutuhan di kelas, kegiatan pembelajaran dengan diskusi kelompok yang diselingi dengan permainan-permainan menarik, dan upaya-upaya lainnya yang mengeliminasi rasa tidak nyaman pada diri siswa (Sapa’at, 2007).

Fase active processing dilakukan dengan membentuk kelompok belajar yang memfasilitasi siswa agar siswa mampu menyerap informasi dengan baik, tetapi siswa harus tetap diberikan penghargaan walaupun hasil kinerjanya belum maksimal (Ozden & Gultekin, 2008). Siswa sebagai pebelajar dirangsang melalui kegiatan pembelajaran untuk dapat membangun pengetahuan mereka melalui proses belajar aktif yang mereka lakukan sendiri. Bangun situasi pembelajaran yang memungkinkan seluruh anggota badan siswa beraktivitas secara optimal, misal mata siswa digunakan untuk membaca dan mengamati, tangan siswa bergerak untuk menulis, kaki siswa bergerak untuk mengikuti permainan dalam pembelajaran, mulut siswa aktif bertanya dan berdiskusi, dan aktivitas produktif anggota badan lainnya. Merujuk pada konsep konstruktivisme pendidikan, keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh seberapa mampu mereka membangun pengetahuan dan pemahaman tentang suatu materi pelajaran berdasarkan pengalaman belajar yang mereka alami sendiri (Sapa’at, 2007). Kunci sukses dalam pengaplikasian BBL untuk setiap orang yang dilibatkan dalam proses pembelajaran adalah dengan memahami struktur otak, fokus pada kebutuhan siswa, cara mengevaluasi, serta meningkatkan format pengajaran dan sistem penyampaian. Dalam lingkungan BBL, material dan pengajaran harus berpusat pada siswa dan disampaikan dengan menyenangkan, bermakna untuk diri siswa, dan dapat diperkaya dengan cara mereka sendiri (Clemons, 2005).

Dalam kelas yang brain compatible, penilaian adalah untuk menilai hasil belajar maupun untuk meningkatkan motivasi. Assesment yang dapat digunakan diantaranya yaitu: self assesment, small process group, penilaian portofolio, dan sebagainya. Semua jenis penilaian tersebut harus dapat menilai semua kecerdasan yang dimiliki siswa, gaya belajar, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembelajaran.

Craig (2007) mengemukakan sejumlah konsep yang digunakan untuk menerapkan BBL, sebagai berikut.

1. Pada fase orchestrated immersion,

a. Guru menanyakan pada siswa tentang pengetahuan apa yang siap mereka kemukakan dalam pembelajaran. Memanggil kembali pengetahuan yang telah didapat ketika pola-pola neural terbentuk di otak, dan pola-pola tersebut hanya akan terbentuk sebagai eksistensi dari pola-pola yang telah didapat.

b. Membelajarkan pembelajaran dengan konteks tentang bagaimana siswa menggunakan informasi yang didapat.

2. Pada fase relaxed allertness,

a. Mengajar untuk mentransfer pengetahuan adalah hal yang kritis. Hal ini membantu siswa untuk menggambarkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dengan konteks dan situasi yang berbeda.

b. Pelajaran harus bersifat personal dan emosional untuk membuat pelajaran relevan untuk setiap siswa, dan memotivasi siswa untuk belajar.

c. Adanya keseimbangan antara tantangan dan membuat siswa sedikit stres. Ketika siswa mengalami stres, struktur otaknya akan lebih terlatih untuk bertahan.

3. Pada fase active processing,

a. Kinesthetic learning, atau pembelajaran yang memanfaatkan aktivitas fisik, dan menggunakan perasaan kita untuk belajar merupakan komponen penting dalam pembelajaran.

b. Amati laboratorium yang tersedia. Apakah sudah berkembang dan komunikatif, serta aman? Dalam belajar siswa perlu merasa nyaman, karena rasa nyaman akan memberikan efek yang positif bagi perkembangan belajarnya.

Dalam pembelajaran sains yang menggunakan model BBL, guru dituntut untuk bisa menghubungkan pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lain, karena langkah tersebut membuat pembelajaran siswa menjadi lebih bermakna dan membuat siswa merasa tertarik untuk belajar (Ozden & Gultekin, 2008).

BBL merupakan sebuah model pembelajaran yang memperhatikan perkembangan otak siswa. Yang dikembangkan dalam pembelajaran bukan hanya sistem kognitif siswa, tetapi keseluruhan sistem dalam otak. Emosi yang dijaga baik, akan menimbulkan respon positif siswa, sehingga motivasi siswa meningkat. Sistem sosial yang dilatihkan melalui kerja proyek atau kerja kelompok memiliki konstribusi memberikan motivasi (sistem emosi) yang pada akhirnya mendukung perkembangan kognitif siswa. Motivasi yang tinggi mengakibatkan siswa secara aktif melakukan kegiatan percobaan atau praktikum untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (sistem fisik), dan perkembangan sistem refleksi mengakibatkan siswa mampu merefleksi hasil pembelajarannya. Motivasi yang tinggi akibat terjaganya emosi siswa, menyebabkan siswa akan mengupayakan langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas pembelajarannya sehingga pada akhirnya kelima sistem pembelajaran alamiah otak berkembang dengan baik, dan sebagai efek pendamping, pemahaman konsep dan kinerja ilmiah siswa akan meningkat.

Klik "Show" Untuk Melihat referensi
Ardana, I. M. 2008. ”Peningkatan Kualitas Belajar Siswa Melalui Pengembangan Pembelajaran Matematika Berorientasi Gaya Kognitif dan Berwawasan Konstruktivis”. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Volume 1, Nomor 11 (hlm. 1-14).

Clemons, S. A. 2005. “Brain-Based Learning: Possible Implications for Online Instruction”. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, Volume II, Nomor 3. Tersedia pada: http://www .itdl.org /Journal /Sep_05/article03.htm

Craig, D. I. 2007. “Applying Brain-Based Learning Principles to Athletic Training Education”. Athletic Training Education Journal, Volume 2 (hlm. 16-20).

Davis, A. 2004. ”The Credentials of Brain-Based Learning”. Journal of Phylosophy of Education, Volume 38, Nomor 1 (hlm. 21-35)

Duman, B. 2006. “The Effect of Brain-Based Instruction to Improve on Students’ Academic Achievement in Social Studies”. 9th International Conference on Engineering Education, 23-28 July 2006 in San Juan. Tersedia pada: http://www.icee.usm.edu/icee/conferences/icee2006/ papers /3380 .pdf

Given, B. K. 2007. Brain Based Teaching (Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang melibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetis, dan Reflektif). Bandung: Kaifa

Guruvalah. 2006. ”Orientasi Baru dalam Psikologi Belajar”. Tersedia pada: http://www.guruvalah.tk

Mehrens, W. A. & I. J. Lehmann. 1984. Measurement and Evaluation in Education and Psycology. Third edition. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Ozden, M. & M. Gultekin. 2008. “The Effects of Brain-Based Learning on Academic Achievement and Retention of Knowledge in Science Course”. Electronic Journal of Science Education, Volume 12, Nomor 1 (hlm. 1-16). Tersedia pada: http://ejse.southwestern.edu/volumes/ v12n1/articles/art1-ozden.pdf.

Rakhmat, J. 2007. Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: Mizan Learning Center (MLC).

Sapa’at, A. 2007. “Brain Based Learning”. Tersedia pada: http://matematika. upi.edu/artikel/brain_based.html

Schiller, P. & C. A. Willis. 2008. “Using Brain-Based Teaching Strategies to Creat Supportive Early Childhood Environment That Address Learning”. Beyond the Journal (young children on the web), Edisi Juli 2008 (hlm. 1-6).

Suastra, I. W. 2002. Strategi Belajar Mengajar Sains. Buku Ajar. Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja.
Model Pembelajaran Brain-Based Learning (BBL) Model Pembelajaran Brain-Based Learning (BBL) Reviewed by Sastra Project on July 13, 2014 Rating: 5

2 comments:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.