Model belajar berbasis masalah (PBL) berasal dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pebelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuannya. Dalam belajar berbasis masalah, pembelajaran didesain dalam bentuk pembelajaran yang diawali dengan struktur masalah real yang berkaitan dengan konsep-konsep fisika yang akan diajarkan. Pembelajaran dimulai setelah siswa dihadapkan dengan struktur masalah real, dengan cara ini siswa mengetahui mengapa mereka belajar. Masalah dihadapkan sebelum semua pengetahuan yang sesuai bertambah dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengarkan penjelasan tentang konsep yang mendasari sebuah masalah (Yasmini, 2005).
Banta, Black, dan Kline (dalam Bigelow,2004) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah satu metode pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai suatu keadaan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan dasar. Menurut Boud & Feletti, model belajar berbasis masalah (PBL) adalah suatu model belajar yang menghadapkan siswa dengan masalah-masalah nyata yang memberi sebuah rangsangan untuk belajar. Siswa diberikan sebuah masalah yang tidak terstruktur sebelum mereka menerima beberapa instruksi. Dalam pembelajaran, siswa melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap masalah tersebut untuk mencari hubungan atau kaitan dan menggunakan pengetahuannya. Saat diberikan masalah yang tidak terstruktur, siswa belum memiliki banyak informasi yang sesuai, sehingga siswa diharapkan akan mengatui secara pasti apa tindakan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Di akhir pembelajaran, siswa mengusulkan sebuah solusi, tapi siswa tidak yakin bahwa mereka telah membuat keputusan yang benar sebelum mereka melakukan eksperimen untuk membuat keputusan yang mungkin terbaik berdasarkan dari informasi yang ada di tangan mereka. Brooks & Martin (dalam Yasa, 2002) menguraikan beberapa ciri penting dari pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah sebagai berikut.
1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar dalam pola pemecahan masalah, sehingga pebelajar diharapkan mampu mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan.
2. Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, masalah harus memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang dibahas. Kedua, permasalahan harus bersifat real sehingga dapat melibatkan pebelajar tentang kesamaan dengan suatu permasalahan.
3. Adanya presentasi masalah, pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga pebelajar merasa memiliki permasalahan tersebut.
4. Pengajar berperan sebagai totur dan fasilitator. Dalam posisi ini, maka peran fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir para pebelajar dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu pebelajar untuk menjadi mandiri.
Alle, Duch, dan Groh (dalam Suma, 2004) mengemukakan pertimbangan penerapan model belajar berbasis masalah (PBL) dalam pendidikan sains adalah:
1. Dalam model belajar berbasis masalah siswa belajar dalam kelompok kecil kooperatif. Penggunaan kelompok kerja kooperatif membantu perkembangan masyarakat belajar dalam kelas sains. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat dalam lingkungan belajar kooperatif. Bekerja dalam kelompok juga membantu mengembangkan karakteristik esensial yang dibutuhkan untuk sukses setelah siswa tamat seperti dalam berkomunikasi secara lisan, berkomunikasi secara tertulis, dan ketrampilan membangun team kerja.
2. Kontekstual. Dalam belajar berbasis masalah siswa memperoleh pengetahuan ilmiah dalam konteks dimana pengetahuan itu digunakan. Siswa akan mempertahankan pengetahuannya dan menerapkannya dengan tepat bila konsep-konsep yang mereka pelajari berkaitan dengan penerapannya, sehingga siswa menyadari makna dari pengetahuan yang mereka pelajari.
3. Belajar untuk belajar (learning to learn). Belajar berbasis masalah membantu siswa mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan, bagaimana menata informasi itu ke dalam kerangka konseptual yang bermakna, dan bagaimana mengkomunikasikan informasi yang sudah tertata itu kepada orang lain.
4. Doing science. Belajar berbasis masalah menyediakan cara yang efektif untuk mengubah pembelajaran sains abstrak ke konkrit dengan memperkenalkan masalah-masalah yang relevan pada awal pembelajaran, pengajar dapat menarik perhatian dan minat siswa, serta memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar melalui pengalaman.
5. Bersifat interdisiplin. Penggunaan masalah yang autentik untuk memperkenalkan konsep dapat menyediakan mekanisme alamiah untuk menunjukkan hubungan timbal balik antar mata pelajaran, sehingga model belajar ini menekankan integrasi prinsip-prinsip ilmiah.
Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan strategi PBL adalah:
Tahap I. Orientasi siswa pada masalah
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap II. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap III. Membimbing individual maupun kelompok
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap IV. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu siswa untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap V. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses-proses yang mereka gunakan (Trisnayanti, 2004).
Dalam model pembelajaran berbasis masalah, guru mempresentasikan situasi permasalahan, berpartisipasi dalam proses pembelajaran sebagai pembantu dalam penyelidikan dan menilai pembelajaran. Siswa sendiri aktif menyatukan situasi yang kompleks dalam menyelidiki dan memecahkan masalah dari dalam. Siswa mensintseis dan membangun pengetahuan untuk menuntun pada pemecahan masalah dalam suatu cara yang sesuai dengan kondisi yang meraka ajukan. Siswa membangun strategi untuk memungkinkan mengatur pembelajaran mereka sendiri. Permasalahan yang akan dipecahkan disajikan dengan tidak terstruktur dan dipresentasikan sebagai suatu situasi sesegera setelah masalah yang menarik didefinisikan. (Illionis Mathematiccs and Science Academy dalam Adipura, 2003).
Dalam implementasi pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah dirancang dengan struktur pembelajaran sebagai berikut.
1. Mulai dengan masalah. Semua siswa secara individual maupun kelompok dihadapkan pada masalah. Siswa secara individual maupun kelompok masing-masing merasa memiliki masalah yang sama untuk dicari pemecahannya.
2. Masalah berhubungan dengan dunia siswa. Masalah yang dikonfrontasikan pada awal pembelajaran kepada siswa haruslah sedekat mungkin dengan dunia sehari-hari siswa, sehingga masalah tersebut tidak asing bagi siswa, karena hal ini akan dapat memotivasi siswa untuk mencoba mencari pemecahannya.
3. Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah. Guru hendaknya sebagai fasilitator dapat menyiapkan materi pembelajaran yang dapat menuntun siswa untuk bisa menuju pada pemecahan masalah.
4. Memberikan siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajarannya sendiri.
5. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran.
6. Menuntun siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari melalui hasil atau penampilan. (Savoie & Andrew dalam Yasa, 2002)
Banta, Black, dan Kline (dalam Bigelow,2004) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah satu metode pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai suatu keadaan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan dasar. Menurut Boud & Feletti, model belajar berbasis masalah (PBL) adalah suatu model belajar yang menghadapkan siswa dengan masalah-masalah nyata yang memberi sebuah rangsangan untuk belajar. Siswa diberikan sebuah masalah yang tidak terstruktur sebelum mereka menerima beberapa instruksi. Dalam pembelajaran, siswa melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap masalah tersebut untuk mencari hubungan atau kaitan dan menggunakan pengetahuannya. Saat diberikan masalah yang tidak terstruktur, siswa belum memiliki banyak informasi yang sesuai, sehingga siswa diharapkan akan mengatui secara pasti apa tindakan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Di akhir pembelajaran, siswa mengusulkan sebuah solusi, tapi siswa tidak yakin bahwa mereka telah membuat keputusan yang benar sebelum mereka melakukan eksperimen untuk membuat keputusan yang mungkin terbaik berdasarkan dari informasi yang ada di tangan mereka. Brooks & Martin (dalam Yasa, 2002) menguraikan beberapa ciri penting dari pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah sebagai berikut.
1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar dalam pola pemecahan masalah, sehingga pebelajar diharapkan mampu mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan.
2. Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama, masalah harus memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang dibahas. Kedua, permasalahan harus bersifat real sehingga dapat melibatkan pebelajar tentang kesamaan dengan suatu permasalahan.
3. Adanya presentasi masalah, pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga pebelajar merasa memiliki permasalahan tersebut.
4. Pengajar berperan sebagai totur dan fasilitator. Dalam posisi ini, maka peran fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir para pebelajar dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu pebelajar untuk menjadi mandiri.
Alle, Duch, dan Groh (dalam Suma, 2004) mengemukakan pertimbangan penerapan model belajar berbasis masalah (PBL) dalam pendidikan sains adalah:
1. Dalam model belajar berbasis masalah siswa belajar dalam kelompok kecil kooperatif. Penggunaan kelompok kerja kooperatif membantu perkembangan masyarakat belajar dalam kelas sains. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat dalam lingkungan belajar kooperatif. Bekerja dalam kelompok juga membantu mengembangkan karakteristik esensial yang dibutuhkan untuk sukses setelah siswa tamat seperti dalam berkomunikasi secara lisan, berkomunikasi secara tertulis, dan ketrampilan membangun team kerja.
2. Kontekstual. Dalam belajar berbasis masalah siswa memperoleh pengetahuan ilmiah dalam konteks dimana pengetahuan itu digunakan. Siswa akan mempertahankan pengetahuannya dan menerapkannya dengan tepat bila konsep-konsep yang mereka pelajari berkaitan dengan penerapannya, sehingga siswa menyadari makna dari pengetahuan yang mereka pelajari.
3. Belajar untuk belajar (learning to learn). Belajar berbasis masalah membantu siswa mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan, bagaimana menata informasi itu ke dalam kerangka konseptual yang bermakna, dan bagaimana mengkomunikasikan informasi yang sudah tertata itu kepada orang lain.
4. Doing science. Belajar berbasis masalah menyediakan cara yang efektif untuk mengubah pembelajaran sains abstrak ke konkrit dengan memperkenalkan masalah-masalah yang relevan pada awal pembelajaran, pengajar dapat menarik perhatian dan minat siswa, serta memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar melalui pengalaman.
5. Bersifat interdisiplin. Penggunaan masalah yang autentik untuk memperkenalkan konsep dapat menyediakan mekanisme alamiah untuk menunjukkan hubungan timbal balik antar mata pelajaran, sehingga model belajar ini menekankan integrasi prinsip-prinsip ilmiah.
Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan strategi PBL adalah:
Tahap I. Orientasi siswa pada masalah
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap II. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap III. Membimbing individual maupun kelompok
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap IV. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu siswa untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap V. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini dalam kegiatan pembelajarannya guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses-proses yang mereka gunakan (Trisnayanti, 2004).
Dalam model pembelajaran berbasis masalah, guru mempresentasikan situasi permasalahan, berpartisipasi dalam proses pembelajaran sebagai pembantu dalam penyelidikan dan menilai pembelajaran. Siswa sendiri aktif menyatukan situasi yang kompleks dalam menyelidiki dan memecahkan masalah dari dalam. Siswa mensintseis dan membangun pengetahuan untuk menuntun pada pemecahan masalah dalam suatu cara yang sesuai dengan kondisi yang meraka ajukan. Siswa membangun strategi untuk memungkinkan mengatur pembelajaran mereka sendiri. Permasalahan yang akan dipecahkan disajikan dengan tidak terstruktur dan dipresentasikan sebagai suatu situasi sesegera setelah masalah yang menarik didefinisikan. (Illionis Mathematiccs and Science Academy dalam Adipura, 2003).
Dalam implementasi pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah dirancang dengan struktur pembelajaran sebagai berikut.
1. Mulai dengan masalah. Semua siswa secara individual maupun kelompok dihadapkan pada masalah. Siswa secara individual maupun kelompok masing-masing merasa memiliki masalah yang sama untuk dicari pemecahannya.
2. Masalah berhubungan dengan dunia siswa. Masalah yang dikonfrontasikan pada awal pembelajaran kepada siswa haruslah sedekat mungkin dengan dunia sehari-hari siswa, sehingga masalah tersebut tidak asing bagi siswa, karena hal ini akan dapat memotivasi siswa untuk mencoba mencari pemecahannya.
3. Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah. Guru hendaknya sebagai fasilitator dapat menyiapkan materi pembelajaran yang dapat menuntun siswa untuk bisa menuju pada pemecahan masalah.
4. Memberikan siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajarannya sendiri.
5. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran.
6. Menuntun siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari melalui hasil atau penampilan. (Savoie & Andrew dalam Yasa, 2002)
Model belajar berbasis masalah (Problem Based Learning)
Reviewed by Sastra Project
on
January 02, 2013
Rating:
ReplyDeleteThank you, your article is very good
viagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta