Model Cooperative Learning Jigsaw IV

Pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sebuah pendekatan di mana siswa saling membantu mengenai masalah akademik untuk tujuan yang sama membentuk kelompok kecil, baik di dalam maupun di luar kelas, di mana siswa mendapatkan rasa percaya diri, mengembangkan keterampilan komunikasi siswa, memperkuat pemecahan masalah siswa dan kemampuan berpikir kritis, serta berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara aktif (Bolling et al dalam Sahin, 2010). Pembelajaran kooperatif mengharuskan siswa dalam kelompok mempunyai dua tanggung jawab yang berbeda, yaitu belajar perilaku yang ditargetkan dan memastikan bahwa anggota lain dalam kelompoknya juga mempelajarinya (Johnson & Johnson dalam Sahin, 2010).

Model Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson dalam Nurman, 2009), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. 

Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning dalam pendidikan adalah homo homini socius yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. 

Jigsaw adalah suatu pembelajaran kooperatif yang telah dipelajari dalam berbagai cara oleh peneliti dan guru dalam kelas-kelas dari tingkat yang berbeda dan mata pelajaran yang berbeda. Jigsaw merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang berdasarkan dinamika kelompok dan interaksi sosial. Kelas jigsaw, awalnya dikembangkan oleh Elliot Aronson pada tahun 1971 di Austin, Texas (Xiaoling, 2010), dianggap efektif dalam meningkatkan hasil pendidikan yang positif. Sebagai pembelajaran kooperatif, model pembelajaran jigsaw telah dipelajari di luar negeri dan telah dieksplorasi dalam berbagai cara oleh sejumlah peneliti dan guru dalam kelas-kelas tingkat yang berbeda dan subyek yang berbeda (Aronson dalam Xiaoling et al, 2010). 

Melalui beberapa studi mengenai teknik jigsaw, maka tahap implementasi telah mengalami perubahan dan beragam jenis teknik ini telah dikembangkan. Selain Jigsaw I, Jigsaw II oleh Slavin, Jigsaw III oleh Stahl, Jigsaw IV oleh Holliday, Reverse Jigsaw oleh Heeden, dan Subject Jigsaw telah telah dikembangkan (Doymus dalam Maden, 2010). 

Setiap anggota kelompok memiliki potongan informasi (piece of information) yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas kelompok di kelas (Longman dalam Xiaoling, 2010), jigsaw adalah suatu teknik pembelajaran kooperatif yang mengharuskan semua orang melakukan upaya untuk menghasilkan produk akhir. Sama seperti dalam jigsaw puzzle, setiap bagian siswa sangat penting bagi produksi produk akhir. Jika setiap bagian informasi siswa sangat penting, maka setiap siswa sangat penting. Itulah yang membuat hal ini menjadi strategi yang sangat efektif. 

Jigsaw dikatakan dapat meningkatkan belajar siswa karena (Longman dalam Xiaoling, 2010) yaitu (a) Kurang mengancam bagi banyak siswa, (b) Meningkatkan jumlah partisipasi siswa dalam kelas, (c) Mengurangi kebutuhan daya saing, dan (d) Mengurangi dominasi guru dalam kelas. Akibatnya, strategi jigsaw dapat berhasil mengurangi keengganan siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelas dan membantu menciptakan atmosfer student centered yang aktif. Studi menunjukkan bahwa hanya dalam kondisi tertentu strategi kooperatif diharapkan menjadi lebih produktif daripada upaya kompetitif dan individualistis. Johnson & Johnson (dalam Xiaoling, 2010) mengemukakan lima prinsip untuk strategi jigsaw: 

a. Saling ketergantungan positif 
Setiap upaya anggota kelompok sangat diperlukan untuk keberhasilan kelompok. Setiap anggota kelompok harus membuat kontribusi yang unik dengan upaya bersama. 

b. Interaksi face-to-face 
Anggota grup harus secara lisan menjelaskan bagaimana memecahkan masalah, mengajarkan pengetahuannya kepada anggota yang lain, memeriksa pemahaman, membahas konsep yang dipelajari dan mengaitkan pelajaran dengan yang sebelumnya. 

c. Individu dan akuntabilitas kelompok 
Anggota kelompok harus diusahakan sedikit, semakin sedikit kelompok, maka kemungkinan akuntabilitas individu akan semakin besar. Guru diharapkan dapat memberikan tes individu untuk setiap siswa, secara acak memeriksa siswa dengan meminta salah satu siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaan kelompoknya secara lisan kepada guru di hadapan kelompok atau ke seluruh kelas, guru melakukan pengamatan terhadap masing-masing kelompok dan mencatat frekuensi setiap anggota menyumbang kontribusi. Guru menunjuk satu siswa dalam setiap kelompok sebagai pemimpin yang bertanggung jawab untuk meminta anggota kelompok lain untuk menjelaskan alasan yang mendasari jawaban kelompok, dan guru juga memantau siswa mengenai apa yang telah dipelajari dengan yang lain. 

d. Keterampilan interpersonal 
Keterampilan sosial adalah suatu keharusan bagi keberhasilan pembelajaran jigsaw di kelas. Keterampilan sosial mencakup kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, keterampilan manajemen konflik dan sebagainya. 

e. Pengelolaan kelompok 
Anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka mencapai tujuan dan mempertahankan hubungan kerja yang efektif, menggambarkan apa tindakan anggota yang bermanfaat dan apa yang tidak, dan membuat keputusan tentang perilaku yang harus dilanjutkan atau dirubah. 

Pembelajaran jigsaw memungkinkan siswa untuk diperkenalkan kepada materi dan belum menanggung tinggi tingkat tanggung jawab pribadi. Ini membantu mengembangkan kerjasama dan keterampilan pembelajaran kooperatif pada semua siswa dan kedalaman pengetahuan tidak mungkin jika siswa belajar semua materi sendiri. Akhirnya, karena siswa harus melaporkan temuan mereka sendiri ke grup asal di pembelajaran jigsaw, maka siswa cukup sering mengungkapkan pemahaman konsep serta mengungkapkan miskonsepsi yang dialaminya. 

Metode jigsaw dan variannya dalam pendidikan sains dilaporkan bahwa lebih sering digunakan di kelas daripada metode pembelajaran kolaboratif lain, terutama dalam biologi, kimia, dan fisika dan ilmu-ilmu bumi. Hal ini karena metode jigsaw dianggap meningkatkan pembelajaran kooperatif dengan membuat setiap siswa fokus pada topik tertentu (Jasoon, 2008). Oleh karena itu, Aronson dan Patnoe (dalam Jasoon, 2008) menyimpulkan bahwa metode Jigsaw adalah metode yang paling berguna dalam pembelajaran kolaboratif karena siswa harus mendiskusikan dan mengkomunikasikan makna topik mereka, ini berarti mereka mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Dalam mendukung hal ini, Slavin (dalam Jasoon, 2008) mengamati bahwa metode Jigsaw sangat berguna karena siswa harus mengambil peran aktif dalam pembelajaran, Colosi dan Zales (dalam Jasoon, 2008) kepercayaan terjadi karena siswa belajar subjek terbaik ketika mereka harus menjelaskan kepada rekan mereka. 

Jigsaw IV yang dikembangkan oleh Holliday, mencakup tiga fitur baru yang penting, yaitu pendahuluan, kuis, dan re-teaching setelah penilaian individu (Holliday dalam Jasoon, 2008). Jasoon (2010) menyatakan bahwa untuk merangsang minat siswa dalam pelajaran, guru memperkenalkan pelajaran dengan cara kuliah, presentasi, memberi pertanyaaan, mengusulkan masalah, atau mungkin menampilkan film dalam kelas. Siswa kemudian dibagi menjadi kelompok heterogen. Kelompok ahli dan semua siswa diberikan topik untuk dibaca. Setiap siswa pada kelompok ahli membahas lembar ahli yang didasarkan pada daftar semua topik. Untuk memeriksa ketepatan dan pemahaman siswa dalam kelompok ahli, mereka dinilai melalui sebuah kuis yang berbasis pada lembar ahli. 

Kelompok ahli kembali ke kelompok asalnya, mengajar semua anggota kelompok mereka dan mengambil kuis, semua didasarkan pada lembar kelompok asal. Guru menelaah dan menjelaskan setiap konsep yang tidak dimengerti oleh siswa. Para siswa mengambil kuis individu, dan skor dikombinasikan untuk menghasilkan skor tim keseluruhan. Akhirnya, guru melakukan re-teaching tentang materi yang masih mengalami miskonsepsi setelah proses penilaian individu (Jasoon, 2008). 

Holliday (dalam Jasoon, 2008) melanjutkan dengan mengatakan bahwa aktivitas kelas dapat diurutkan menjadi sembilan proses. 

1) Pendahuluan. Guru memperkenalkan prinsip atau percobaan kepada siswa dalam kelas, dan memberikan siswa untuk membentuk kelompok asal, yang beranggota enam siswa. Para anggota dari setiap kelompok asal dibagi dalam kelompok-kelompok ahli; 

2) Lembar ahli ditugaskan untuk kelompok ahli; 

3) Kelompok ahli menjawab pertanyaan sebelum kembali ke kelompok asal. Para siswa diberikan pertanyaan berdasarkan lembar ahli untuk mengecek pemahaman mereka sebelum kembali ke kelompok asal mereka masing-masing; 

4) Quiz pada materi dalam kelompok ahli digunakan memeriksa akurasi. Guru mengelola kuis untuk menilai validitas tanggapan mereka; 

5) Masing-masing anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk berbagi informasi dengan kelompok asal mereka. Para siswa kembali ke kelompok asal mereka untuk mengajar rekan-rekan mereka, dan untuk berbagi informasi dengan satu sama lain dalam kelompok asal mereka; 

6) Quiz pada materi bersama, digunakan untuk memeriksa akurasi. Para siswa diminta menjawab pertanyaan berdasarkan semua bahan asli; 

7) Proses review. Guru menelaah dan menjelaskan setiap konsep yang tidak dimengerti oleh siswa; 

8) Penilaian individu dan kelas. Setiap siswa dinilai kembali menggunakan post-test dan 

9) Re-teaching. Guru mengajarkan topik sulit yang ditemukan berdasarkan penilaian post-test. 

Singkatnya, dalam semua metode jigsaw siswa ditugaskan untuk mempelajari topik tertentu dalam kelompok ahli, mereka menjadi ahli pada topik mereka, dan kemudian mereka mengajar semua anggota kelompok asal mereka. Ini berarti mereka memiliki kesempatan untuk mengajar dan belajar dalam kelompok mereka, mereka dapat berbagi ide-ide yang dimiliki, mereka mengembangkan rasa percaya diri, kerjasama dan motivasi (Barbosa et al dalam Jasoon, 2008). 

Adapun aktivitas pembelajaran Fisika dengan menggunakan model kooperatif Jigsaw IV yang dipadukan dengan Permendiknas No. 41 tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1
Sintaks Model Pembelajaran Cooperative Jigsaw IV

No.
Tahap Pembelajaran
Aktivitas Guru
Aktivitas Siswa
Eksplorasi
1.
Pendahuluan
Memperkenalkan prinsip fisika atau percobaan kepada siswa dalam kelas.
Mencermati topik prinsip fisika atau percobaan yang disampaikan oleh guru.
Membagi siswa menjadi beberapa kelompok, siswa dibagi menjadi kelompok ahli dan kelompok asal.
Membentuk kelompok sesuai dengan instruksi yang disampaikan oleh guru.
Elaborasi
2.
Pembagian tugas kelompok ahli
Membagikan lembar ahli kepada masing-masing kelompok ahli.
Menerima dan mencermati lembar ahli yang telah dibagikan oleh guru.
Menginstruksikan siswa untuk mencermati kegiatan yang disampaikan guru, melakukan penyelidikan ataupun percobaan yang akan dilakukan.
Siswa yang tergabung dalam kelompok ahli melakukan penyelidikan atau percobaan sesuai dengan lembar ahli yang diberikan oleh guru. Siswa melakukan diskusi dan bertukar pikiran dengan anggota kelompoknya.
3.
Quiz untuk kelompok ahli
Memberikan quiz untuk kelompok ahli.
Kelompok ahli mengerjakan quiz yang diberikan guru.
4.
Kelompok ahli kembali ke kelompok asal
Menginstruksikan masing-masing kelompok ahli kembali ke kelompok asal mereka kemudian membagikan lembar kelompok asal.
Siswa yang tergabung di dalam kelompok ahli kembali ke kelompok asal mereka. Anggota kelompok asal mencermati lembar kelompok asal yang diberikan oleh guru.
Mengintruksikan anggota kelompok asal mencermati materi yang telah dibagikan.
Masing-masing siswa di dalam kelompok asal berdiskusi dan bertukar informasi yang telah didapatkan pada diskusi kelompok ahli sebelumnya.
5.
Quiz untuk kelompok asal
Memberikan quiz untuk kelompok ahli.
Kelompok ahli mengerjakan quiz yang diberikan guru.
Konfirmasi
6.
Review
Menelaah dan menjelaskan setiap konsep yang tidak dimengerti oleh siswa.
Menyimak penjelasan yang diberikan oleh guru dan melakukan koreksi apabila terdapat kesalahan konsep.
7.
Post-test
Memberikan post-test untuk setiap siswa.
Mengerjakan post-test yang diberikan guru.
8.
Re-teaching
Mengajarkan  topik sulit yang ditemukan berdasarkan penilaian post-test.
Menanyakan topik sulit yang dialami saat mengerjakan post-test. Siswa menyimak penjelasan guru mengenai topik yang ditanyakan.


Jasoon (2008) menyatakan bahwa dengan metode jigsaw para siswa dapat meningkatkan kemampuannya, baik secara kognitif maupun afektif. Seperti disebutkan sebelumnya, metode jigsaw yang digunakan dalam kelas-kelas sains lebih dari metode pembelajaran kolaboratif lain, karena struktur ilmu pengetahuan banyak hirarkis, artinya setiap langkah dapat dipelajari secara terpisah dan kemudian disatukan. Secara keseluruhan, meskipun metode Jigsaw adalah pendekatan pengajaran yang agak rumit, siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis (Charania et al dalam Jasoon, 2008.), dan belajar bagaimana memimpin diskusi (Colosi & Zales, dalam Jasoon, 2008).

referensi:

Jasoon, N., Somsook, S., Coll, R.K. 2008. Thai undergraduate chemistry practical learning experiences using the jigsaw IV method. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia, 31(2), 178-200.
Nurman. 2009. Model Pembelajaran cooperative learning tipe jigsaw. Artikel. Tersedia pada http://nurmanspd.wordpress.com/2009/09/06/model-pembelajaran-cooperative-learning-tipe-jigsaw/. Diakses pada tanggal 26 September 2011
Xiaoling J, Mengduo Q. 2010. Jigsaw strategy as a cooperative learning technique: Focusing on the language learners. Chinese Journal of Applied Linguistics (Bimonthly). 33(4), 113-125.
Model Cooperative Learning Jigsaw IV  Model Cooperative Learning Jigsaw IV Reviewed by Sastra Project on May 05, 2016 Rating: 5

1 comment:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.