Teori Belajar Gagne

Teori Conditioning Of Learning ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya dimaksudkan untuk menemukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks. Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif (gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar bersifat kompleks.

Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari Stimulus dan lingkungan serta proses kognitif. Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu :

a. Kejadian-Kejadian Belajar

Menurut Gagne ( pada Ratna, 1989:141) dalam satu tindakan belajar terdapat delapan fase-fase belajar. Fase belajar ini merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa ataupun guru

1) Fase motivasi, sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar. Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan bahwa belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akan memenuhi keingintahuan mereka tentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka, atau menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik.

2) Fase Receiving the stimulus situation (apprehending), merupakan fase seseorang memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Misalnya “golden eye” bisa ditafsirkan sebagai jembatan di amerika atau sebuah judul film. Stimulus itu dapat spontan diterima atau seorang guru dapat memberikan stimulus agar siswa memperhatikan apa yang akan diucapkan.

3) Fase Stage of Acquition, pada fase ini seseorang akan dapat memperoleh suatu kesanggupan yang belum diperoleh sebelumnya dengan menghubung-hubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumnya. Atau boleh dikatakan pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama

4) Fase storage /retensi adalah fase penyimpanan informasi. Ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek, ada yang dalam jangka panjang. Melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.

5) Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.

6) Fase generalisasi adalah fase transfer informasi pada situasi-situasi baru agar lebih meningkatkan daya ingat. Siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks di mana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasi atau transfer informasi pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat di tolong dengan meminta para siswa untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru, misalnya meminta para siswa menggunakan keterampilan-keterampilan berhitung baru untuk memecahkan masalah-masalah nyata; setelah mempelajari pemuaian zat, mereka dapat menjelaskan mengapa botol yang berisi penuh dengan air dan tertutup, menjadi retak dalam lemari es.

7) Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar. Para siswa harus memperhatikan, bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan yang tampak. Misalnya setelah mempelajari bagaimana menggunakan mikroskop dalam pelajaran biologi, para siswa dapat mengamati bagaimana bentuk sel dan menggambarkan sel itu; setelah mempelajari struktur kalimat dalam bahasa, mereka dapat menyusun kalimat yang benar.

8) Fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement). Para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka, yang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan. Umpan balik ini dapat memberikan reinforcement pada mereka untuk penampilan yang berhasil.

b. Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes

Menurut Gagne ( pada Ratna, 1989:135) setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :

1) Verbal Information (informasi verbal) adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.

2) Intellectual skills (keterampilan intelektual), merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya.
Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperloleh aturan – aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konkret ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi. 

Selama bersekolah, banyak sekali jumlah keterampilan-keterampilan intelektual yang dipelajari oleh seseorang. Keterampilan-keterampilan intelektual ini, untuk bidang studi apa pun, dapat digolongkan berdasarkan kompleksitasnya. Perbedaan yang berguna antara keterampilan-keterampilan intelektual untuk tujuan-tujuan pengajaran.

a) Diskriminasi-diskriminasi

Diskriminasi merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons yang berbeda terhadap stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik. Dalam kasus yang paling sederhana, seseorang memberikan respons, bahwa dua stimulus sama atau berbeda. Diskriminasi merupakan keterampilan intelektual yang paling dasar. Pengajaran diskriminasi paling banyak diberikan pada anak-anak kecil dan anak-anak atau orang-orang yang cacat mental (mentally retarded). 

b) Konsep-konsep Konkret 

Suatu konsep konkret menunjukan suatu sifat objek atau atribut objek. Contoh sifat-sifat objek ialah bulat, persegi, biru, merah, halus. Kita dapat mengatakan bahwa orang tertentu telah mempelajari suatu konsep konkret, dengan meminta orang itu untuk menunjukkan dua atau lebih anggota yang termasuk kedalam kelas objek-sifat sama, misalnya dengan menunjuk pada suatu uang logam, suatu ban mobil, dan bulan purnama sebagai bulat. Kemampuan untuk menentukan konsep-konsep konkret merupakan prasyarat untuk mempelajari gagasan yang lebih kompleks seperti gagasan abstrak.

c) Konsep Terdefinisi

Seseorang dikatakan telah mengerti suatu konsep terdefinisi bila ia dapat mendemonstrasikan arti dari kelas tertentu tentang objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan. Misalnya, kita perhatikan konsep asam, suatu zat yang memerahkan lakmus biru. Siswa yang telah mempelajari konsep terdefinisi ini akan mampu emilih zat sesuai dengan definisi ini. Sebelum memiliki konsep-konsep terdefinisi, siswa harus mampu memahami konsep konkret.

d) Aturan-Aturan 

Seseorang telah belajar suatu aturan bila penampilannya mempunyai semacam “keteraturan” dalam berbagai situasi khusus. Banyak contoh mengenai perilaku yang dikuasai oleh aturan. Pada kenyataannya, sebagian besar dari perilaku manusia termasuk kategori perilaku ini. Misalnya dalam kalimat “Ibu mencium adik dengan penuh kasih sayang”, kata kerja mancium ditempatkan sesudah kata Ibu, tidak sebelumnya. Demikian pula kata-kata lain dalam kalimat itu sudah mengikuti suatu aturan dalam bahasa. Dengan aturan yang telah kita pelajari ini kita dapat menyusun kalimat-kalimat lain dengan struktur yang sama.

e) Aturan-aturan Tingkat Tinggi

Ada kalanya, aturan-aturan yang kita pelajari merupakan gabungan yang kompleks tentang aturan-aturan yang lebih sederhana. Lagi pula, kerap kali aturan-aturan yang kompleks atau aturan-aturan tingkat tinggi ini ditemukan untuk memecahkan masalah, pada dasarnya merupakan tujuan utama proses pendidikan. Bila para siswa memecahkan suatu masalah yang mewakili kejadian-kejadian nyata, mereka terlibat dalam perilaku berpikir. Dengan mencapai pemecahan suatu masalah secara nyata, para siswa juga mencapai suatu kemampuan baru. Mereka telah belajar sesuatu yang dapat digeneralisikan pada masalah-masalah lain yang mempunyai ciri-ciri formal yang mirip. Ini berarti, mereka telah memperoleh suatu aturan baru atau mungkin juga suatu set baru tentang aturan-aturan.

3) Cognitive strategies (strategi kognitif), merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Dalam teori belajar modern, suatu strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses internasional yang digunakan siswa (orang yang belajar) untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar mengingat dan berpikir (Gagne, 1985). Beberapa tulisan Bruner (1961, 1971) menguraikan operasi dan kegunaan strategi-strategi kognitif dalam memecahkan masalah. Walaupun siswa menggunakan strategi-strategi khusus dalam melaksanakan tugas-tugas belajar, untuk memudahkan, strategi-strategi kognitif itu dikelompokkan sesuai dengan fungsinya. Pengelompokan itu disarankan oleh Weinstein dan Mayer (1986).

a) Strategi-strategi Menghafal (rehearsal strategies). Para siswa melakukan latihan mereka sendiri tentang materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, latihan itu berupa mengulangi nama-nama dalam suatu urutan (misalnya, nama-nama pahlawan-pahlawan, tahun-tahun pecahnya Perang Dunia, dan lain-lain). Dalam mempelajari tugas-tugas yang lebih kompleks, misalnya mempelajari gagasan-gagasan yang penting, menghafal dapat dilakukan dengan menggaris-bawahi gagasan-gagasan penting itu, atau dengan menyalin bagian-bagian dari teks.

b) Strategi-strategi elaborasi. Dalam menggunakan teknik elaborasi, siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia. Bila diterapkan pada belajar dari teks prosa misalnya, kegiatan-kegiatan elaborasi merupakan pembuatan parafrase (paraphrasing), pembuatan ringkasan, pembuatan catatan, dan perumusan pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban-jawaban.

c) Strategi-strategi Pengaturan (Organizing strategies). Menyusun materi yang akan dipelajari ke dalam suatu kerangka yang teratur, merupakan teknik dasar dari strategi-strategi ini. Sekumpulan kata-kata yang akan diingat diatur oleh siswa menjadi kategori-kategori yang bermakna. Hubungan-hubungan antara fakta-fakta disusun menjadi tabel-tabel, memungkinkan penggunaan pertolongan penyusunan ruang untuk menghafal materi pelajaran. Cara lain ialah dengan membuat garis besar tentang gagasan-gagasan utama dan menyusun organisasi-organisasi baru untuk gagasan-gagasan itu.

d) Strategi-strategi Metakognitif. Menurut Brown (1978), strategi-strategi metakognitif meliputi kemampuan-kemampuan siswa untuk menentukan tujuan-tujuan belajar, memperkirakan keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan itu, dan memilih alternatif-alternatif untuk mencapi tujuan-tujuan itu.

e) Strategi-strategi Efektif. Teknik-teknik ini digunakan para siswa untuk memutuskan dan mempertahankan perhatian, untuk mengendalikan kemarahan dan menggunakan waktu secara efektif.

4) Attitudes (sikap-sikap) merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian atau mahluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap-sikap kita terhadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu yang menjadi hal penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.

5) Motor skills (keterampilan motorik) merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggabungan kegiatan motorik dengan intelektual sebagai hasil belajar. Keterampilan motorik bukan hanya mencakup kegiatan fisik saja tapi juga kegiatan motorik dengan intelektual seperti membaca, menulis, dllnya.

c. Kondisi atau tipe pembelajaran

Robert M.Gagne membedakan pola-pola belajar siswa kedalam delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya yang lebih tinggi hirarkinya. Delapan tipe belajar yang dimaksud adalah :

1) Signal Learning (belajar isyarat)

Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe beajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagi proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional didalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning ini mirip dengan conditioning menurut Palvov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respons yang timbul dengan tak sengaja dan tak dapat dikuasai.

Contoh: aba-aba “Siap!” merupakan suatu signal atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu disini merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa jijik. Melihat ular itu merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.

2) Stimulus-Response Learning (Belajar Stimulus-Response)

Bila tipe diatas dapat digolongkan dalam jenis classical, maka tipe belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakna proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah factor reinforcement. Waktu antara stimulus pertama dengan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcement.

Contoh: anjing dapat diajar “memberi salam” dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan “ kasih tangan” atau “salam”. Ucapan kasih tangan merupakan stimulus yang menimbulkan respons memberi salam oleh anjing itu.

Berdasarkan contoh diatas, jelas bahwa kemampuan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respons dapat diatur dan dikuasai. Respons bersifat spesifik, tidak umum dan kabur. Respons diperkuat atau di reinforce dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus-respons ini seorang pelajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan “Mama”.

3) Chaining (rantai atau rangkaian)

Chaining adalah belajar menghubungkan suatu ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan lainnya. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

Contoh: dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti bapak-ibu, kampung-halaman, selamat tinggal, dan sebagainnya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini misalnya: pulang kantor, ganti baju, makan malam, makan siang dan sebagainya. Chaining terjadi bila terrbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan (contiguity).

4) Verbal association (asosiasi verbal)

Baik chaining maupun verbal association, kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “ itu bola saya” bila dilihatnya bola. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal bujur sangkar atau mengenal bola saya itu. Hubungan itu terbentuk bila unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi (contiguity).

5) Discrimination Learning (belajar diskriminasi)

Discrimination learning atau belajar diskriminasi mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian diantaranya dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan aassociation serta pengalaman (pola S-R).

Contoh : anak dapat mengenal berbagai merk mobil beserta namanya, walaupun tampaknya mobil itu banyak bersamaan. Demikian pula ia dapat membedakan manusia yang satu dari yang lainnya ; juga hewan dan tumbuhan serta benda-benda lainnya. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing anak karena mampu mengadakan diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu beserta namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya chain baru, dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi.

Makin banyak yang harus dirangkaikan, maka makin besar kesulitan yang dihadapi karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.

6) Concept Learning (belajar konsep)

Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep-konsep, kondisi utamanya yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.

Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang dapat melakukan demikian, akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep , ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungann keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasi oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh anak dengan perintah : “ambilkan botol yang ditengah” untuk mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Dalam saat itu ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.

7) Rule Learning (belajar aturan)

Rule Learning atau belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiassi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule”.

Belajar aturan adalah tipe belajar yang banyak terdapat dalam pelajaran disekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, (a + b) (a – b) = 2a – 2b, untuk menjamin keselamatan negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa anak-anak harus menemukan sendiri aturan-aturan itu. Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan memberitahukan kepada anak didik disertai dengan contoh-contoh, dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang efektifnya. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan “verbal chain” saja dan ini hanya menunjukkan cara belajar yang salah.

Kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar seperti ini, diisarankan:

a) Kepada anak didik diberitahukan bentuk performance yang diharapkan kalau yang bersangkutan telah menjalani proses belajar.

b) Kepada anak didik diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang, mengingatkannya (recall) terhadap konsep-konsep yang telah dispelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya.

c) Kepada anak didik diberikan beberapa kata kunci yang menyarankan anak didik ke arah pembentukan kaidah tertentu yang diharapkan.

d) Diberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah tersebut dengan kata-katanya sendiri.

e) Kepada anak didik diberikan kesempatan selanjutnya untuk menyusun rumusan “rule” tersebut dalam bentuk statement formal.

8) Problem Solving (pemecahan masalah)

Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini anak didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan situasi problematic yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey, belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah adalah sebagai berikut:

a) Merumuskan dan menegaskan masalah

Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahui sebagai pegangan.

b) Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis

Individu menghimpun berbagi informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah serupa. Kemudian mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).

c) Mengevaluasi alternative pemecahan yang dikembangkan

Setiap alternative pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (posible) dan menguntungkan.

d) Mengadakan pengujian atau verifikasi

Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternative pemecahan yang dipilih, dipraktekkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan.

d. Kejadian-kejadian Intruksional

Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan kejadian-kejadian instruksi. Menurut Gagne, bukan hanya guru yang dapat memberikan instruksi, kejadian-kejadian belajarnya dapat juga diterapkan baik pada belajar penemuan, atau belajar di luar kelas, maupun belajar dalam kelas. Tetapi kejadian-kejadian instruksi yang dikemukakan Gagne ditunjukkan pada guru yang menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa-siswa. Kejadian-kejadian instruksi itu adalah :

1) Mengaktifkan motivasi (activating motivation). Langkah pertama dalam suatu pelajaran ialah memotivasi para siswa untuk belajar. Kerap kali ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, dan dengan mengemukakan kegunaannya. Misalnya, guru membangkitkan perhatian para siswa dalam belajar tentang ukuran liter, dengan memberi tahu mereka bahwa informasi ini nanti akan mereka perlukan di masa yang akan datang, dan mengemukakan masalah tentang pembelian minyak goreng untuk ibu, atau bensin untuk sepeda motor atau mobil.

2) Memberitahu tujuan-tujuan belajar. Kejadian instruksi kedua ini sangat erat hubungannya dengan kejadian instruksi pertama. Sebagian dari mengaktifkan motivasi para siswa ialah dengan memberitahu mereka tentang mengapa mereka belajar, apa yang mereka pelajari, dan apa yang akan mereka pelajari. Memberitahu para siswa tentang tujuan-tujuan belajar juga menolong memusatkan perhatian para siswa aspek-aspek yang relevan tentang pelajaran. Bagaimana merumuskan tujuan-tujuan belajar yang dikenal dengan tujuan Instruksional Khusus itu tidak asing lagi bagi kita semua. Dengan mengenal model belajar Gagne kita mempunyai dasar yang lebih kuat tentang kegunaan tujuan-tujuan belajar ini. Selama ini kita merumuskan tujuan Instruksional khusus berdasarkan Taksonomi Bloom, dengan tiga domainnya, yaitu domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor. Sekarang kita sudah mengenal hasil-hasil belajar menurut Gagne, yang telah dibahas sebelum ini, yaitu kita telah diperkenalkan pada Taksonomi Gagne, dan dengan demikian kita akan merumuskan pula tujuan-tujuan belajar sesuai dengan gagasan Gagne. Tetapi akan kita lihat, bahwa perumusan itu tidak akan banyak berbeda, sebab dasar penggolongan tujuan-tujuan itu sebenarnya sama.

3) Mengarahkan perhatian (directing attention). Gagne Mengemukakan dua bentuk perhatian. Yang satu berfungsi untuk membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Dalam mengajar, perubahan stimulus stimulus secara tiba-tiba dapat mencapai maksud ini. Dalam pelajaran kimia hal ini dapat dilakukan dengan guru berkata, “Perhatikan perubahan warna yang terjadi”, waktu guru mengajarkan kecepatan reaksi dengan metode demonstrasi. Bentuk kedua dari perhatian tersebut adalah persepsi selektif. Dengan cara ini siswa memilih informasi yang mana yang akan diteruskan ke memori jangka-pendek. Dalam mengajar, seleksi stimulus-stimulus relevan yang akan dipelajari, dapat ditolong guru dengan cara mengeraskan ucapan kata selama mengajar, atau menggarisbawahi suatu kata atau beberapa kata dalam suatu kalimat, atau dengan menunjukkan sesuatu yang harus diperhatikan para siswa, misalnya dalam mengajarkan penulisan rumus-rumus kimia, diminta perhatian siswa-siswa pada penulisan angka-angka sedikit di bawah huruf-huruf (dalam menulis rumus H2SO4, angka 2 dan 4 ditulis agak di bawah huruf H dan O).

4) Merangsang ingatan (stimulating recall). Pemberian kode pada informasi yang berasal dari memori jangka pendek yang disimpan dalam memberi jangka-panjang, menurut Gagne merupakan bagian yang paling kritis dalam proses belajar. Guru dapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingat atau mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka-panjang itu. Cara menolong ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada para siswa, yang merupakan suatu cara pengulangan.

5) Menyediakan bimbingan belajar. Untuk memperlancar masuknya informasi ke memori jangka-panjang, diperlakukan bimbingan langsung dalam pemberian kode pada informasi. Untuk mempelajari informasi verbal, bimbingan itu dapat diberikan dengan cara mengaitkan informasi baru itu pada pengalaman siswa.

6) Meningkatkan retensi (enhancing relention). Retensi atau bertahannya materi yang dipelajari (Jadi tidak dilupakan) dapat diusahkan oleh guru dan para siswa itu sendiri dengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain ialah dengan memberi banyak contoh-contoh.

7) Melancarkan transfer belajar. Tujuan transfer belajar ialah menerapkan apa yang telah dipelajari pada situasi baru. Ini berarti, bahwa apa yang telah dipelajari itu dibuat umum sifatnya. Melalui tugas pemecahan masalah dan diskusi kelompok guru dapat membantu transfer belajar. Untuk dapat melaksanakan ini para siswa tentu diharapkan telah menguasai fakta-fakta, konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan. Dalam pelajaran sains misalnya, transfer belajar akan terjadi waktu guru memberikan tugas pada para siswa untuk merencanakan bagaimana menanggulangi masalah pencemaran lingkungan.

Mengeluarkan penampilan; memberikan umpan balik. Hasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara, agar guru dan siswa itu sendiri mengetahui apakah tujuan belajar telah tercapai. Untuk itu sebaiknya guru memberikan kesempatan sedini mungkin pada siswa untuk memperlihatkan hasil belajar mereka, agar dapat diberi umpan balik, sehingga pelajaran selanjutnya berjalan dengan lancar.

referensi:
Winatraputra,dkk.2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka
Wilis Dahar, Ratna. 1989. Teori-Teori Belajar. Bandung: Erlangga.
Teori Belajar Gagne Teori Belajar Gagne Reviewed by Sastra Project on May 14, 2016 Rating: 5

1 comment:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.