Teori Self Efficacy

Bandura (dalam Hayati, 2010) menyatakan walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip tersebut harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Dua fenomena tersebut adalahsebagai berikut.  

Pertama, Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata-mata budak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi. Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara. Inti dari teori sosial kognitif tersebut menyatakan bahwa pencapaian manusia bergantung pada interaksi perilaku seseorang, faktor kepribadian (seperti pemikiran, keyakinan), dan kondisi lingkungannya. 
Seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melakukan tindakan yang memuaskan. Teori sosial kognitif menyatakan bahwa untuk mendapatkan suatu hasil yang memuaskan terdapat salah satu faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura (dalam Hayati, 2010) menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efiksasi diri (self efficacy) dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.
1. Efiksasi diri (self efficacy) adalah “Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu”. SE berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
2. Ekspektasi hasil (outcome expectations) adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.
Sejalan dengan Pajares (2005) menyatakan SE adalah suatu penilaian terhadap kemampuan diri untuk menggunakan kompetensi-kompetensi yang dimiliki di dalam domain dan situasi yang spesifik. Hal tersebut menunjukkan bahwa SE menggambarkan kemampuan yang dirasakan oleh seseorang untuk melaksanakan tingkah laku tertentu yang spesifik. Maddux & Volkmann (dalam Arnawa, 2011) menambahkan bahwa SE bukan memisahkan keyakinan tentang kompetensi dengan konteks situasi, tetapi justru merupakan keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki pada suatu konteks dan kondisi-kondisi tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa SE adalah suatu keyakinan seseorang terhadap kemampuan diri yang dimilikinya dalam menyelesaikan masalah ataupun menghadapi suatu tantangan  yang dihadapi, sehingga mampu menentukan pencapaian tujuan tertentu yang diharapkan pada situasi tertentu. SE juga dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu kejadian. Seseorang yang memiliki SE yang rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami gejala depresi ataupun stres. Sementara mereka yang memiliki SE yang tinggi akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi dengan usaha yang tinggi.
SE dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber (Hayati, 2010) , yakni:
1.   Pengalaman performansi, merupakan prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan masa lalu akan menurunkan efikasi. Pencapaian keberhasilan akan memberi dampak efikasi diri (SE) yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya.
2.   Pengalaman Vikarius diperoleh melalui model sosial. SE akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya SE akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Jika figur yang diamati berbeda dengan diri si pengamat maka pengaruh vikarius tidak  besar. Sebaliknya, ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tersebut tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.
3.   Persuasi Sosial, pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi SE. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.
4.   Keadaan emosi , pada  kondisi ini akan mempengaruhi SE seseorang dalam menghadapi sesuatu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi SE. Peningkatan emosi yang tidak berlebihan juga dapat meningkatkan SE.
Sebagai salah satu konstruk motivasi, SE dapat diukur. Anyadubalu (2012) menyatakan salah satu instrumen yang telah dikembangkan untuk mengukur SE adalah general self efficacy scale (GSES). Instrumen pada GSES tersebut berupa kuisioner pribadi yang berbentuk skala likert. Selain GSES, terdapat pula motivated strategies for learning questionnaire (MSLQ) yaitu instrumen yang terdiri dari 56 butir pernyataan dalam bentuk skal Likert.  MSLQ memuat 9 butir pertanyaan yang mengukur SE siswa. Hal ini didasarkan karena SE merupakan komponen dari motivasi belajar (Pintrich & DeGroot, 1990; Arnawa, 2011) butir-butir SE dalam MSLQ tersebut mengukur academics self efficacy siswa.
Lian (dalam Arnawa, 2011) telah  mengembangkan alat ukur SE dalam bidang sains. Alat ukur SE ini berbentuk skala keyakinan yang mengukur SE siswa berdasarkan tiga dimensi SE yakni level, strength, dan generality. Instrumen ini  dikenal sebagai science self efficacy (SSE). Khusus pada pendidikan fisika Çaliskan, et al (dalam Arnawa, 2011) telah mengembangkan physics self efficacy scale (PSES) dalam bentuk skala likert. PSES memuat beberapa domain spesifik yang diukur meliputi SE dalam: 1) menyelesaikan masalah fisika (solving physics problem);  2) melakukan percobaan fisika (physics laboratory); 3) belajar fisika (learning physics); 4) menerapkan pengetahuan fisika (application of physics knowledge); dan 5) mengingat pengetahuan fisika (memorizing physics knowledge).

REFERENSI: 

KLIK "Show" UNTUK MELIHAT REFERENSI
Anyadubalu, C. C . 2012. Self efficacy, anxiety, and performance in the english language among middle-school students in english language program in satri si suriyothai school, Bangkok. International journal of human and social sciences 5(3): 193-198. Tersedia pada http://www.waset.org/ journals/ijhss/v5/v5-3-29.pdf. Diakses pada tanggal 4 April 2012.

Arnawa, I N. 2011. Pengaruh model SRL terhadap self efficacy siswa SMP ditinjau berdasarkan gender. Thesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha.

Hayati. 2010. Teori sosial kognitif dari albert bandura. Artikel. Tersedia pada http:// ayasipelitahayati. wordpress. Com. Diakses pada tanggal 5 November 2012.

Pajares, F. 2005. “Self-Efficacy During Chilhood and Adolescene: Implications for Teacher and Parents”. Dalam F. Pajares (Ed), self-efficacy beliefs of adolescents, page 339-367. Charlotte: Information Age Publishing.

Teori Self Efficacy Teori Self Efficacy Reviewed by Sastra Project on September 04, 2016 Rating: 5

3 comments:

Silakan tinggalkan komentar untuk kemajuan blog ini

Powered by Blogger.